SAYAP PATAH SANG KUPU KUPU
Rumah Makan Padang, Kalijodo
Orang bilang, saat seorang wanita jatuh cinta, seluruh persepsi di hidupnya akan terlihat berbeda. Entah ungkapan itu tepat untukku atau tidak, aku sedang dirundung bahagia. Ya, aku bahagia. Sora. Nama itu begitu terngiang di benakku, berkeliling bagai komedi putar di wahana murah pasar malam. Murah? Oh, aku lupa. Aku begitu murah. Maaf, tidak sepantasnya gadis murah mengharap langit yang mahal, tak terhingga harganya. Langit mampu memelukmu dalam sekali dekapan. Menaungimu seharian. Tapi kupu-kupu malam? Sayap rapuhnya tak akan cukup merangkul langit, walau dibentang paksa sekalipun. Kadang, pemikiran itu membuatku menyerah.
Aku menatap lalu lalang pria-pria, dari segala usia, hilir mudik memasuki jalan kecil ini. Kalijodo, kadang ada yang menyebutnya KJ, Kaje, dan entah apa lagi. Sebuah tempat dimana transaksi cinta terjadi. Kenapa cinta? Oh, jangan munafik kawan. Aku, teman-temanku, lebih tepatnya, kami, menyediakan jasa layanan cinta kilat. Pergulatan di ranjang membutuhkan perasaan. Dan perasaan lekat dengan cinta. Kami melayani sepenuh hati. Tanpa mengeluh. Dibayar dengan harga pantas, kadang malah kurang. Pria-pria itu, masuk kamar kami, bergelut dan menyantap tubuh telanjang kami, merebahkan diri setelah usai pertempuran lengkap dengan senyum puas tersungging lebar, membayar, dan tak bertemu lagi. Memang, beberapa ada yang balik lagi. Tapi rata-rata? Mungkin takut ketahuan istrinya. Apa namanya jika bukan cinta kilat?
Namun entah kenapa malam ini aku melihat semua itu sama, abu-abu. Warna monokrom. Pemandangan yang biasa kulihat berwarna, kini hanya bagai bias belaka. Oh, aku tahu. Pada akhirnya, semua warna itu melebur jadi satu, abu-abu. Para pelacur itu, dengan segala motifnya untuk terjun di lembah nista, menyiratkan berbagai warna muda. Para penikmat itu, dengan segala alasannya, menyiratkan warna membara. Motif klise, mulai dari untuk menghidupi keluarga di kampung, membayar biaya sekolah dan kuliah, bahkan karena sekedar iseng belaka. Alasan klise, isteri yang tak lagi menarik –gendut, berdaster, kurang terawat–, cuma coba-coba, sampai pengidap kecanduan seksual. Semua tumpah ruah bagai ikan segar yang sedang dilelang di Pasar Ikan Muara Angke. Warna sama. Bau sama. Raut wajah sama. Topeng, palsu semua. Huh, monokrom.
“Uda, jadi berapa?” tanyaku pada pegawai di rumah makan Padang yang sedari tadi asyik menonton tayangan komedi di televisi. Ia terpingkal-pingkal, diam, lalu begitu lagi. Gila. Oh, maaf. Aku lupa diri. Aku lebih gila dari dirinya.
“Pake apa aja ya non, makannya?”
Aku berusaha mengingat-ingat. “Rendang, perkedel, sama es teh manis.”
“Jadi delapan belas ribu, semuanya.”
Aku menyerahkan selembar uang dua puluh ribu, lalu bergegas pergi. Kuamati sekeliling. Kiri, jalan raya. Kanan, oh, kanan. Kalijodo, Kaje, blablabla. Seharusnya aku memilih melangkahkan kaki ke kanan, tapi tidak kali ini. Aku berdiri di pinggir jalan, badan tegak lurus. Menunggu supir taksi. Biarlah, untuk malam ini saja, mereka tak menganggapku sebagai penjaja cinta. Ayo, lihat aku sebagai gadis biasa. Aku berpakaian sopan malam ini. Tidak ngablak. Ini jersey AC Milan yang longgar itu loh, tidak menampilkan lekuk tubuh. Lihat, ini skinny jeans panjang, bukan hotpant. Ini sepatu kets, bukan high heels yang jika di film-film porno jenis femdom, maka si wanita akan meminta si pria untuk menjilati ujung heels yang runcing, kemudian beralih ke tempurung kaki, tumit, hingga betis lalu berujung ke paha dan, ah sudahlah. Bayangkan saja sendiri. Kenapa jadi membayangkan adegan film porno? Ayolah, supir taksi. Apa kamu tidak mau uang? Halal atau haram sama saja, yang penting bisa menghidupimu sekeluarga. Namun memang dasarnya pelacur, tampil sesopan apapun pasti akan disiuli dan digoda. Seakan, seluruh tubuhku menunjukkan bahwa aku bisa disewa. Ah, aku semakin membenci ini semua.
Harapanku berlabuh. Sebuah taksi perlahan menepi merespon lambaian ringan tanganku.
~oOo~
Tribeca Park, Central Park, Slipi
Aku menyisir pesan yang masuk bertubi-tubi, saat kunyalakan sinyal yang tadi sempat sengaja dimatikan. Ayolah, dunia tahu. Baterai smartphone itu boros, mengisap daya bagai vampir. Atau koruptor? Ups, maaf bapak-ibu di atas sana. Aku tak bermaksud menyindir. Tapi begitu kata ‘vampir’ terngiang di benakku, analogi sederhana muncul. Vampir sama dengan koruptor. Vampir ganas dalam memburu mangsa, menghisap habis darahnya. Malah kadang sekaligus beberapa. Tak percaya? Tengok Dracula, ehm, beberapa ada yang menyamakannya dengan Vlad Tepes. Ia terkenal dengan metode pembantaian tusuk satenya. Maaf, aku tak punya waktu menjelaskan. Silahkan googling saja ya. Lalu dimana kesamaannya? Realita berbicara. Jika aku menghancurkan individu demi individu, maka koruptor menghancurkan sekaligus. Masif. Bedanya, akibat dari perbuatanku cepat terlihat. Sementara kalian, oh, seperti bocah. Main kucing-kucingan. Berkubang dalam lumpur semakin dalam.
Tawaran one night stand, rayuan jadi isteri simpanan, naik tingkat jadi mucikari, mengelola bisnis perjudian, dan segala tawaran dari dunia hitam lainnya. Muak. Cukup. Tak adakah pesan masuk yang benar-benar manusiawi? Sekali saja. Duh, aku terlalu mengharap. Mungkin ia membatalkan janji. Mungkin aku harus melirik dan menangkap salah satu dari sekian banyak kerlingan mata yang ditujukan padaku di taman ini. Dan sebelum aku betul-betul berniat melakukannya, nada itu berdering lagi. Cepat kutengok layar ponsel. Aha! Ini dia yang kutunggu. Pesan dari Sora.
“Ini anak katanya udah disini? Dimana sih,” gumamku kesal. Ups, maaf. Gemas.
Buru-buru kulongok sekeliling. Mencari satu sosok homo sapiens berwajah asli diantara sekian banyak spesies sejenis yang bertopeng. Ciri-cirinya, mungil, rambut gimbal, kulit sawo matang. Sejauh mata memandang, sosok itu tak tampak. Lalu aku mulai mengarahkan perhatian pada sesosok pemuda yang tengah asyik berjongkok sambil memandangi gemulai ikan-ikan koi pada kolam. Kebanyakan jenis showa dan kohaku. Oh, ada juga jenis asagi dan ogon. Tapi bukan ikan-ikan mahal nan lucu itu yang menarik perhatianku. Pemuda itu, dengan mata berbinar terang memandangi ikan-ikan itu seakan sedang memandang idola. Kadang berbicara sendiri. Kadang berjongkok sambil memainkan telunjuknya di permukaan air. Apa dari ciri-ciri diatas sudah kusebutkan tentang ‘aneh’? Sepertinya belum. Yang paling menarik dari Sora adalah tingkah anehnya, yang menurutku itu nyentrik. Dan pemuda yang sedang kuperhatikan ini mempunyai semua ciri-ciri tersebut, termasuk yang terakhir. Ia, pemuda yang kucari. Kucari sedari tadi, dan kucari selama ini. Sora.
“Hai, udah lama ya Kak?” begitu katanya.
“Lumayan, sampe jamuran,” jawabku ketus.
“Wah, jangan asal ngomong ah. Nanti jamuran beneran loh.”
Aku terhenyak. Diam kaku, mematung. Memang, pekerjaanku bukan berarti tanpa resiko. Penyakit kelamin adalah momok paling menakutkan buatku. Salah satunya HIV. Jika kena, habislah sudah. Itu berarti umurmu sudah ditentukan, meskipun memang umur itu tidak ada yang tahu pasti. Dan salah satu ciri ODHA –orang dengan HIV/AIDS– adalah tumbuh jamur di pangkal lidahnya. Jamur, tiap mendengar kata itu, tubuhku merinding seketika.
Seakan menangkap raut wajahku yang cepat berubah, Sora bangkit lalu menggenggam tanganku erat.
“Sori Kak, aku gak ada maksud buat bikin Kak Sarah takut.”
Aku menggeleng pelan, kemudian tersenyum. “Kenapa harus di Tribeca?” Pertanyaan pertama terlontar begitu saja.
“Tempat ini asyik soalnya. Kak Sarah emang gak ngerasa, kalau tempat ini bikin tenang?”
Justru sebaliknya, Sora. Sebaliknya. Banyak klienku yang tinggal di seputaran Slipi. Mungkin diantara pengunjung taman Tribeca ini, ada beberapa yang pernah menjamah tubuhku. Bayangkan rasanya, saat mata menyelidik dan buas mereka menatapku, kemudian menatapmu. Pikiran mereka pasti hanya menemukan satu kesimpulan, bahwa aku sedang menyewa seorang berondong sebagai teman kencan. Atau yang lebih parah, memeras dan memperdaya keluguanmu. Coba pikirkan itu, Sora. Ingin rasanya aku melontarkan kalimat-kalimat itu, namun mulutku terkunci rapat. Bisu dalam gagap.
“Yuk, kita ke tempat lain.”
Aku melongo, “kemana?”
“Pepper Lunch, katanya mau nyobain Teriyaki Double Salmon?”
Mataku berbinar. Aku meneguk ludah, kemudian mengangguk dengan semangat empat lima. Hihi, kamu tahu, langit? Binar mataku makin mirip denganmu. Semangatku makin menyamaimu. Aku mengikuti langkah pemuda berambut gimbal ini memasuki Shopping Center ternama, Central Park.
~oOo~
“Kak,”
“Hapa?”
“Telen dulu makanannya,”
“Hoh, hoke, hoke,”
Aku bersusah payah mengunyah dengan cepat, hanya demi ingin mendengar Sora mengatakan sesuatu. Buru-buru kukunyah daging salmon dengan bumbu manis dan gurih itu supaya halus, lalu kutelan bulat-bulat. Bumbu salmon meresap hingga ke lidahku, ke setiap ruang di rongga mulutku. Sayang, bumbu lezat itu harus tersapu manisnya es limun.
“Kak, mungkin aku akan jarang main ke tempat kakak lagi.”
Oke, kata-kata itu cukup untuk membuatku berhenti melakukan apapun. Total berhenti.
“Kenapa?”
Duh, Sarah. Kenapa harus kamu tanyakan hal itu? Memangnya dengan Sora tidak lagi berkunjung ke kamarmu, tidak lagi menemanimu dalam dua jam penuh arti adalah sesuatu yang salah?
“Ada banyak alasan. Juga kesibukan.”
Aku menangkap binar matanya memudar. Tolong, jangan biarkan binar itu redup, Sora. Siapa lagi nanti yang akan menjadi genset untuk menyokong cahaya mataku berbinar?
“Banyak alasan? Orangtua lo tahu kalau lo sering main ke lokalisasi? Ke tempat gue?”
Sora tidak menjawab. Kali ini ia diam, bagai patung mahal yang tak punya tugas apapun kecuali sebagai hiasan. Oh, langit itu menghitam. Dan itu menyesakkanku saat melihatnya.
“Kenapa? Kesibukan apa? Lo kuliah? Katanya, lo itu benci pendidikan formal? Benci dengan segala macem tetek bengek metodenya? Terus, gara-gara lo ketahuan sama bokap-nyokap lo, jadi lo dipaksa kuliah, gitu?”
Sora menggeleng, pelan sekali. Matanya menghadap ke meja, ke sepiring beef pepper rice yang sedari tadi tak dimakannya, cuma diacak-acak bagai kucing mengaduk bak pasir.
“Aku gak kuliah, kak. Lagian, kedua orangtua aku udah meninggal. Setahun lalu.”
Kalimat itu cukup untuk membuatku mengunci mulut ini. Dasar mulut tak tahu diri! Tak bisakah sesekali kamu menyaring kata-kata sebelum melontarkannya begitu saja? Duh, atau aku yang tak tahu diri? Sudah salah, malah mempersalahkan mulut yang tak tahu apa-apa.
“Ada beberapa hal, yang harus dapet perhatian ekstra dari aku. Sampai semuanya selesai, aku gak janji bisa berkunjung ke tempat Kakak,” Sora mendongakkan kepala, pijar sorot mata itu kembali berbinar. “Tapi aku janji, setelah semua ini selesai, aku pasti sering main ke tempat Kakak lagi. Bener deh, janji.”
“Seberapa penting sih urusan lo, dibanding gue?” tanyaku ketus. Nadanya kuyakin mampu menusuk hati Sora yang selama ini kenyal oleh kata-kata ketusku.
Sarah, sadar! Kamu itu pelacur. Perempuan bayaran. Konotasinya uang, bukan perasaan. Pertanyaanmu tadi itu mengesankan bahwa kamu lupa diri. Lupa siapa kamu sebenarnya. Selama ini kamu tidak ambil pusing jika ia ada atau tak ada, singgah ke kamarmu atau tidak. Kamu itu cukup menikmati gepok uangnya saja, bukan perasaannya. Salah, ini perasaanmu. Kamu bahkan tak pernah tahu seperti apa perasaannya padamu, bukan? Mana yang lebih menyedihkan, pelacur yang mengiba demi uang, atau pelacur yang cintanya bertepuk sebelah tangan? Ayolah, hadapi realita. Kalian, oh Demi Tuhan -bahkan jika Ia benar-benar ada-, kalian itu jauh berbeda! Selama ini kamu mengedepankan realita diatas segala-galanya. Realita itu uang, dan uang itu berarti kehidupan. Hal konyol macam perasaan masuk daftar antri kesekian, yang entah urutan keberapa ratus, ribu, atau juta. Sudahi semua ini, cukup ambil jatah uangmu kali ini, dan pergi selama-lamanya dari hidupnya. Beres.
Mereka bilang ada bagian di diri manusia yang bisa merasakan sakit yang amat sangat, padahal bukan termasuk organ tubuh. Dan aku sedang merasakannya. Bagian itu, berada di bawah tulang rusuk dan diatas sedikit dari ulu hati, sedang merongrong karena merasakan sakit tak terperi. Rasanya bagai seribu panah menghujam tubuhmu, bertubi-tubi, terus menerus. Sakit, sakit sekali. Bagian itu meronta, meminta tolong dan mengemis iba. Namun aku menahan gejolaknya, sekuat tenaga.
“Percaya aku, Kak. Aku ngelakuin ini semua demi kebaikan kita juga.”
“Kebaikan sialan. Persetan. Basi. Buang rasa bernama kebaikan itu ke laut, lalu masuk ke kamar gue. Lo mau apa? Gue layanin sepenuh hati. Selama ini gue selalu terima duit secara gratisan dari lo, sekarang saatnya gue bayar semua sampe tuntas. Mau berapa lama? Gue sanggup hingga berhari-hari.”
Sora diam dalam kebisuan yang misterius. Enam bulan aku mengenalnya, baru kali ini kudapati pemuda di hadapanku diam bagai langit kelam yang menyembunyikan maksudnya. Entah apa yang tersembunyi di balik langit kelam itu. Badai kah? Atau, rona cerah?
Aku ikut diam. Perlahan, semua kebisingan meredup. Kata terdengar lambat, masuk satu-satu ke telinga. Sekelilingku bagai bergerak dalam kecepatan slow motion hingga tak memerlukan suara. Waitres yang hilir mudik kini bagai pertapa sakti yang menjejakkan kaki cepat-cepat namun tanpa suara. Musik yang mengalun bagai nada asing dan sember di telingaku. Hingga akhirnya, kebisingan di sekelilingku terenggut oleh satu kebisuan absolut yang bertindak berbarengan dengan perasaanku yang dikoyak semakin dalam. Makin brutal. Oh, Izrail, Grim reaper, Anubis, apapun, aku mohon cabut nyawaku sekarang. Rasa sakit ini, kebisuan ini, pahit ini, tak lagi sanggup kuredam. Aku bagai seonggok jasad yang hidup, namun dengan jiwa yang hampir mati. Sekarat, dan sayangnya, siapapun tidak akan perduli jika ada pelacur sekarat di samping mereka.
Sora mengeluarkan sesuatu dari saku celana. Sebuah amplop coklat yang dilipat dua. Aku mengerti maksudnya. Namun entah mengapa, aku marah. Padahal aku seharusnya tertawa, bahagia saat akan menerimanya.
“Kak, ini,” ujarnya seraya menyodorkan segepok uang dibalut amplop coklat di telapak tanganku yang membuka. “Maaf jika jumlahnya gak sesuai, aku masih belum bisa menaksir berapa harga yang pantas untuk membeli,” Sora menunduk sekilas, “maaf, maksud aku, menyewa waktu kakak. Aku harap, Kak Sarah enggak marah.”
Marah? Seharusnya aku malah bahagia, Sora. Marah itu hanya bagi para pelacur yang tak tahu diri, sudah dikasih uang secara cuma-cuma, malah menuntut lebih. Dan sayangnya, akulah pelacur tak tahu diri itu.
Aku menepis amplop itu, kuat-kuat. Uangnya berhamburan dari celah amplop yang terbuka. Melayang turun bagai hujan uang kertas seratus ribuan. Sontak, meja kami menjadi pusat perhatian.
Aku berdiri tegak, lalu kedua tanganku menggebrak meja. Begitu keras. Luapan emosi itu tak lagi bisa kubendung. Aku lupa diri.
“Lo pikir gue perek apaan, hah?! Yang bisa lo ajak ketemuan, jalan, ngobrol, nonton, makan, terus nerima bayaran gitu aja?! Gue gak mau kerja makan gaji buta! Gue,” aku merasa bulir-bulir itu sudah mengumpul di pelupuk mataku, siap turun, “gue juga masih punya dedikasi sama pekerjaan ini. Meskipun gue perek, seenggaknya gue jual badan, bukan harga diri.”
“Orang lain bisa nyakitin fisik gue, dan gue terima sebagai resiko pekerjaan. Sikap profesional. Tapi elo, bocah kemarin sore yang tiba-tiba dateng ke kamar gue, yang nyakitin gue lebih dari apapun juga. Elo enggak ngejamah badan gue, sama sekali enggak nyentuh barang setitik pun. Tapi lo, ngejamah hati gue, ngerampas semua ruangnya sampe gak nyisain apapun. Disaat gue dibawa ke awang-awang karena perlakuan lo yang begitu baik sama perek ini, lo jatuhin gitu aja! Lo mau ninggalin gue! Coba, tanya sama semua pelacur yang masih punya nurani, siapa yang enggak sakit kalau digituin! Jawab, Sora! Jawab!”
Ucapanku semakin lirih. Teriakan berganti tangis tertahan. Tangis yang sekuat tenaga kucoba untuk tidak membuncah. Aku tak lagi peduli tentang tatapan-tatapan terkejut, penuh iba, merendahkan, atau mengejek yang bercampur baur menjadi satu, menyudut ke arahku. Aku hanya ingin Sora. Tidakkah pantas kupu-kupu ini menginginkan langit yang jauh lebih besar dari tubuhnya? Aku tak ingin dimiliki, tapi setidaknya, tolong jangan tinggalkanku. Sendiri. Berjuang dalam kenistaan ini sendiri. Aku rapuh, Sora. Andai kamu mengerti itu.
“Yang gue pengen,” aku mulai kesulitan berkata-kata. Air mata susul menyusul turun lewati pipi ini. Baluran make up tipisku luntur, mempertunjukkan wajahku yang sebenarnya. Tanpa topeng. “Yang gue pengen, cuma ada disamping lo. Udah, cuma itu aja. Cukup. Gue terlalu bergantung, mencandu sama binar itu, Sora. Langit. Kupu-kupu ini butuh langit pagi untuk menaunginya, bukan gelapnya malam yang sepi, mencekam, dan penuh hal-hal menyeramkan.”
Sora berdiri, tubuhnya seperti merapuh namun ia tetap memaksa bangkit. Ia menjulurkan tangan, berusaha menggapai lenganku. Kutepis pelan.
“Kak, bukan maksud aku ninggalin Kak Sarah. Aku…”
Aku tersenyum. Senyum melegakan. Puas. Puas akan dahaga kasih sayang yang selama ini kuharap, namun tak jua mendapat kepastian. Aku puas karena telah menyadari semuanya. Menyadari bahwa aku pelacur, dan kamu bekas pelajar berotak encer, nyentrik, dan kaya. Dunia kita berbeda. Secercah cahaya seperti menyadari otakku yang bagai belukar, menuntunku kembali pada realita.
“Bisa gak sekali aja kamu manggil aku bukan pake ‘Kak’, tapi pake nama? Sarah, gitu?”
Sora diam. Terpaku. Membisu. Larut dalam kelamnya yang misterius. Dan aku tak peduli lagi akan hal itu.
“Terima kasih. Selamat tinggal, langit pagi.”
Aku mengambil tas, berlari cepat menuju pintu keluar terdekat. Dimanapun itu. Aku tak tahan lagi. Penat ini menyiksa. Membebaniku. Air mata menetes deras, tak sanggup lagi kubendung. Dalam pelarian, aku menangis. Meraung. Tak tahu malu.
Kucegat satu taksi yang ingin dinaiki seorang nenek. Aku tak perduli, di dunia yang keras ini, kecepatan berperan penting. Tak lagi kupedulikan nenek itu yang menggedor-gedor kaca jendela. Marah-marah. Ia berteriak-teriak dalam bahasa yang tak kumengerti. Peduli setan. Seperti melihat mana yang lebih diprioritaskan, supir taksi melajukan mobilnya perlahan. Kulihat, ia sempat sekilas menatapku. Aku membuang muka ke jendela, menangis dan meraung sejadi-jadinya.
“Ke mana, mbak?” tanyanya.
“Terserah,”
Telepon genggamku berdering. Telepon masuk. Cepat kuangkat.
“Ya, halo? Lagi dijalan, kenapa? Oh, oke. Tunggu aku disana ya, yang. Enggak, aku baik-baik aja kok, beneran. Iya, gak dikunci kok. Masuk aja kayak biasa. Oke, tunggu aku ya.”
Aku menutup telepon. Buru-buru kuseka air mata ini.
“Pak,” panggilku pada supir itu.
“Ya, mbak?”
“Anter saya,” sekilas aku ragu. Untuk apa?
“Kemana mbak?”
“Kalijodo.”
Ya, Kalijodo. Ada Ferdy yang harus dilayani. Kasihan ia, sudah menunggu dari jam tujuh malam tadi. Lupakan Sora, lupakan langit, lupakan semua. Ingat, semua ini demi uang. Uang membuka gerbang menuju realita. Sarah, kamu hidup dalam realita. Lebih tepatnya, budak realita.
~oOo~