• link terbaru forum gocrot per 16 November 2024 : KLIK DI SINI

[DRAMA] KUMPULAN CERPEN (one shoot)

Virangel

GURU BK MESUM
BUKAN KENCING BIASA

Terminal Jagat pantura redup mentari dalam kisah. Gemuruh suara-suara menggelegar, mereda, bergumam suara pula. Mobil-mobil angkutan umum berjejer bertingkah kentut kenalpot dalam antiran perjalanan. Hilir mudik para penumpang yang berbaju rapih atau berbaju lusuh beraneka warna. Turun dari mobil atau menaiki mobil membawa oleh-oleh atau membawa kesia-siaan belaka. Tawaran jasa mobil dari mulut kenek berseliweran di segala penjuru. Penjual minuman botol, penjual telur puyuh, penjual manisan, penjual ketan panggang, penjual gorengan, dan seluruh penjual lainnya ikut andil dalam menari keuntungan keramaian. Tak lupa pengemis, pengamen, yang sering kali meresahkan penumpang yang sedang duduk tenang.

“Tersimpan rindu di hati, gelisah tak menentu… Berawal dari kita bertemu… dan seterusnya,” adalah nyanyian pengamen yang sering dikumandangkan bagai azan salat, membuat Pak Amin merasa terganggu di saat sedang duduk termangu kelelahan. Lalu segera ia berikan kepingan logam lima ratusan.

Lalu Pak Amin termangu kembali. Seakan kelelahan terus menaburkan benih-benih kantuk dalam matanya. Segera ia tepiskan mata kantuk yang hampir meredup. Pak Amin menatap keluar ruangan mobil. Menatap lekat pada lalu lalang mobil. Tak sengaja melihat seorang yang sedang berdiri, bersembunyi di balik pintu mobilnya. Sudah menjadi pemandangan biasa kencing di tempat keramaian ini. Banyak alasan yang menghambat mereka pergi ke WC.

Tapi bagi Pak Amin, itu suatu pandangan yang menggelikan. Terlihat ia menggelengkan kepala sewaktu melihat hal itu. Ia tak sudi melihat kegiatan pelepasan hajat kecilnya. Setelah ia selesai, Pak Amin sempat melihat rupa wajah tapi enggan mengingat dalam memori. Seakan seorang itu mempunyai beribu sisi gelap yang tercermin dari sikap kencingnya.

Mobil segera berlalu meninggalkan ramai terminal. Melewati jalan layang. Melewati batas kota. Melewati segala yang ada dihadapan. Jauh terlewati dari pandangan terminal. Kini, setengah jam berlalu, sampai di penghujung perjalanan. Mata tersadarkan. Ini daerah Pak Amin yang dikenalnya. Lalu ia turun dengan teratur dan kehati-hatian mengingat penuh sesak menghadang. Ia hembuskan nafas segar. Mobil yang dinaiki pun kini berlalu dari hadapan Pak Amin. Lalu ia berjalan kaki menyusuri desa Buntet menuju rumahnya.
*
*
*
*
Pak Amin merebahkan badan di sofa lepaskan kelelahan. Pandangan mata menuju langit-langit.

“Diminum teh manisnya, Yah. Tapi Nah hawatir Ayah terserang diabetes,” kata Maimunah anak satu-satunya. Ia baru saja lulus sekolah. Dan belum ada kesempatan untuk kuliah atau bekerja.

“Nanti,” Pak Amin tetap menatap langit-langit.

Maimunah tetap terdiam hening. Ia setia menemani sang Ayah selepas pulang kerja semenjak ditinggalkan istrinya tiga tahun yang lalu, selingkuh bersama laki-laki teman SMA Pak Amin. Terlantar mereka berdua, hanya pasrah pada Yang Maha Kuasa.

“Yah, aku harap Ayah setuju.”

“Ada apa, Nah?” Pak Amin kini membangunkan badannya. Duduk dengan menghadap ke arah Maimunah. Lalu, ia menikmati secangkir teh manis hangat yang ada di meja. “Bicaralah. Kau sepertinya malu, Nah.”

“Bukan malu. Tapi takut Ayah tidak setuju.”

“Iya, apa dulu?”

“Ada yang mau melamarku. Aku ingin diajak menikah?”

“Hebat sekali dia! Tiba-tiba mengajakmu nikah, di saat Ayah belum tahu laki-laki itu....”

“Jadi Ayah setuju? Tapi kok terlihat seperti tak setuju.”

“Setuju menikahnya. Belum tentu calonnya. Lagi pula Ayah baru tahu kalau kau punya calon.”

“Baru jadian setengah tahun yang lalu.”

“Hebat sekali kau, Nak. menyembunyikan statusmu dan pacarmu. Ada yang paling rahasia tidak?”

“Ih Ayah, kenapa kok tanggapannya gitu... Seperti tak setuju….”

“Hahahaha...,” Tawa Pak Amin seakan berusaha melenyapkan prasangka buruk anaknya.

“Kapan dia mau ke sini? Hadapi Ayah. Jangan jadi pengecut,” Pak Amin melanjutkan pembicaraan.

“Nanti malam, Yah?”

“Hah...! Cepat sekali.”

“Sudah seminggu ingin bilang ke Ayah, tapi belum sempat. Aku tidak berani, Yah.”
*
*
*
*
Keheningan malam dengan nuansa kegelapan. Berbaur dengan nyanyian jangkrik malam dengan merdu tembang pujian Tuhan. Semilir angin malam tetap hantamkan dedaunan sehingga meriak lembut berirama. Sejuk, bahkan dingin merasuk tubuh membuat harap memeluk kehangatan.

Berhias bersih tak mencolok pandang sebagai sambut pada calon yang akan menghadap. Maimunah menunggu dalam jantung yang berdetik kegelisahan. Jam 19.30 kelam malam tetap memberikan suguhan waktu tentang masa kini yang terbatas. Waktu terus berkelana mengikis masa depan. Maimunah gelisah seucap batin tertahan dalam dada. Menunggu hati kekasih bersimpuh di hadapan sang calon mertua. Kini waktu telah singgah dengan aturan. Tak ragu. Tetap dalam perputaran kehidupan. Kini jam menunjuk pada waktu 20. 30 kelam malam.

Katanya sehabis Isya?” Pak Amin mempertanyakan tentang keseriusan waktu. Ia pun duduk temani raga Maimunah yang sedari tadi mata terus dipermainkan jam berputar. Juga menunggu sebait jawaban dari SMS kekasih.

“Mungkin masih di jalan.”

“Memang dari mana?”

“Kendal.”

“Dari Kendal kok ngulur-ngulur waktu. Dekat dari sini….”

Tiba-tiba jeritan motor membisingkan malam yang hening. Maimunah hampiri suara bising itu. Rasa gelisah menderu terucapkan lantang dihadapan seorang yang diharapkan hadirnya.

“Halo, Nah,” Rizki, pacar Maimunah, hadir dengan balutan kaos merah, jaket hitam, dan mengenakan jeans berwarna hitam.

“Mas, gimana sih? Aku menunggu, menunggu, dan menunggu. Kenapa telat begini? SMS-ku tidak terbalas pula.”

“Yang penting sudah datang, bukan?”

“Ya sudah, silahkan masuk, Mas.”

“Assalamu’alaikum, Pak.” Lalu ia menengok Maimunah ke samping. “Itu Bapak Nah ya?”

Jam telah jujur mengungkapkan ukuran keterlambatan seseorang tentang sebuah perjanjian. Kini, bukti jam menunjukkan pukul 20.40. Tak terbayangkan bisa melebihi sebuah batas dari ucapan janji.

Sorot pandang mata Pak Amin menguat seketika pada lelaki yang mengaku pacar Maimunah. Menerka bayangan dalam pikiran yang telah bersarang sebelumnya tentang laki-laki itu. Berusaha memunculkan kembali memori yang mengendap terabaikan. Agar tak menunjukkan pandangan kecurigaan, kembali Pak Amin redupkan sorot matanya. Bersikap lues menyuguhkan hidangan kehormatan untuk tamu.

“Silahkan duduk,” Pak Amin mempersilahkan sembari menerka bayangan yang mirip dengan lelaki itu. Seolah-olah bertanya dalam hati, “Apakah dia?” Hampir ingat tapi tertutup kembali bayangan dalam pikiran.

Rasa hormat terlampiaskan oleh Rizki dengan jabat tangan kehormatan. “Sehat Pak?”

“Alhadulillah. Dari mana asalnya?”

“Kendal.”
“Oh… Sudah setengah tahun pacaran?”

“Ya, begitulah, Pak.”

Maimunah sedang asik menyiapkan hidangan. Walau tak terdengar suara gelas dan sendok beradu merdu. Tak beberapa lama, hanya hitungan menit menyiapkan, Maimunah datang dalam tampilan senyum memancar girang. Menyuguhkan pada dua lelaki. Yang satu dalam persiapan kata- kata untuk mertua.

Yang satu lagi, gelisah mendera, dalam usaha tangkap kesamaan wujud.

“Silahkan diminum, Mas.”

“Makasih. Jadi begini, Pak. Saya bermaksud untuk melamar anak Bapak. Aku minta agar diperbolehkan menikahi Maimunah.”

“Aku baru mengenalmu. Aku tak mau gegabah. Biarlah aku mengenalmu.”

“Bapak. Mas Rizki anak baik, Pak. Dia tidak menganggur. Sudah bekerja. Oh ya, Yah. Ayah kan sering pulang pergi pakai angkutan umum. Nah, kebetulan dia seorang supir, Yah. Biar gak bayar, hmmm….”

Tubuh Pak Amin bagai tersambar petir. Terkaget-kaget. Menegang sekujur badan. Maimunah dan Riski hanya menunggu sebait kata dari Pak Amin. Tapi kini perlu waktu untuk melueskan mulut Pak Amin dalam berbicara. Pak Amin kalut merangkai kata. Seakan ucapan Maimunah mengingatkan kembali pada kejadian di terminal. Ekpresi wajah Pak Amin seketika berubah. Tunjukkan rona angkuh. Tapi tak tunjukkan nada amarah.

Ia tetap sembari pandang laki-laki itu. Memcocokkan kembali dengan bayangannya. Ternyata benar.

“Ayah tidak setuju!”

“Apa?!” Mereka serentak berucap tanya. Seakan telah teratur rapih dalam rencana.

“Aku tidak setuju. Kalian dengar?”

“Ayah jahat! Tega sama anaknya sendiri!”

“Pak saya mohon, restui hubungan ini. Aku mencintainya. Aku ingin menikahinya. Aku sungguh-sungguh, Pak.”

“Maimunah, apakah kau mencintai lelaki itu?”

“Aku mencintainya, Ayah?”

“Seberapa besar kau tahu tentang dia?”

“Dia baik, bertanggungjawab, menyayangiku, mencintaiku, setia, dan tentunya sudah bekerja.”

“Hebat! Lihatlah Rizki? Dia begitu kenal dirimu. Tapi coba, Maimunah bertanya untukku, seberapa kenal Ayah pada Rizki? Lalu apa tanggapanmu?”

Mereka berdua saling mengikat pandang. Lalu Maimunah kembali pada pandangan Ayahnya.

“Ayah belum kenal sama Mas Rizki. Terus, apa salah jika aku saja yang sudah mengenal Mas Rizki? Kenapa Ayah begini? Aku kurang nurut apa sama Ayah? Aku ingin, kali ini Ayah menuruti keinginanku….”

Rizki hanya menunduk gelisah. Belum berani banyak komentar. Seakan komentar Maimunah cukup mewakili kegelisahan perasaan Rizki.

“Itu kau tahu,” Pak Amin membenarkan. Lalu melanjutkan perkataan kembali. “Lebih baik kalian bincang-bincang. Tapi jangan terlalu lama.”

Kini mereke berdua benar-benar berhati kelam malam, berbunga duka. Sedih. Perih. Dan indah perasaan sirna seiring kepergian Ayahnya menuju kamar tidur.
*
*
*
*
Malam telah larut, mengikat ikut perputaran waktu. Malam pun telah meninabobokan Pak Amin. Lelap ia dalam tidur. Seakan mimpi yang ia rasakan adalah kehidupan nyata. Ia lupakan sejenak atas sikapnya yang tak disetujui kedua sepasang kekasih. Karena tidur adalah obat lupa terbaik.

Terperanjat. Ya, Pak Amin sedikit terperanjat kaget. Ia putuskan rangkaian mimpi yang telah terjalin dalam alur. Sayup-sayup suara tangis. Pak Amin termenung. Larut dalam tanya. Seakan hembusan nafas membangkitkan energi untuk menjawab.

“Maimunah. Ada apa dengan Maimunah? Aku lalai mengawasi mereka. Jangan-jangan… oh tidak!” Pak Amin bergegas keluar kamar. Lalu melangkah ke kamar Maimunah.

“Nah, Nah, Nah. Kenapa kau, Nak? Sialan. Kau diapakan sama laki-laki itu?!” Pak Amin berprasangka lagi dengan penuh letupan amarah.
Tangsis tetap menjadi-jadi.

“Buka, Nah, buka!”

Segera pintu pun dibuka. Pak Amin pun bertanya.

“Kenapa kau menangis? Kau diapakan sama lelaki itu?”

“Kenapa Ayah tak sadar atas kesalahannya. Aku sedih. Kenapa Ayah tega tidak menuruti keinginanku… Kenapa Ayah tega mencegah niat baik seseorang untuk menikah?! Hik, hik, hik. Apakah Ayah lebih setuju bila aku relakan tubuhku dinikmati tanpa status pernikahan?”

“Kau tak mengerti maksud Ayah! Tak mengerti!”

“Apa, Yah? Ayah yang tak mengerti perasaanku.”

“Lupakan dulu tentang perasaan, Nah!”

Maimunah tertunduk lemas. Ia mengerti, jika ia emosi, tak pantas wajah tampakkan ke arah ayahnya. Lebih baik ia menunduk kesopanan.

“Begini, Nak,” sembari mendudukkan tubuh lelah Pak Amin. “Sewaktu di terminal Ayah melihat Rizki sedang kencing sembarangan di terminal.”

“Apa?! Oh ternyata itu yang membuat tidak setuju?!” Maimunah tetap tak pandang wajah ayahnya.

“Tenangkan dulu… Berikan waktu buat Ayah.”

“Baik!”

“Kau tau dia baik. Oke, Ayah terima. Dia baik dalam segi kemanusiaan. Tapi coba tengok dalam segi ketuhanannya. Apakah dia pernah shalat? Dan Ayah lebih memperhatikan tenang shalat. Apakah dia shalat jika ia mudah membuang kencing di depan umum walau tak terlihat kemaluan dirinya?”

“Ayah jangan berprasangka begitu. Mungkin dia shalat.”

“Apa ada shalat yang sah bila najis kencing menempel di badan?”

“Mungkin dia membersihkannya.”

“Apa mungkin seorang supir membersihkan najis? Kencing saja tak beraturan.”

“Yah. Banyak yang rajin shalat tapi sikap tidak baik.”

“Ya, Ayah tahu… Kita tak usah panjang lebar tentang shalat.”

“Cuma alasan itu Ayah menolak lamaran? Cuma alasan kencing dan tidak shalat?!”

Lebih dari itu! Kau perlu tahu cerita ini… Betapa sakit hatiku, Ibumu pergi bersama laki-laki teman Ayah sendiri. Tapi aku pun merasa kasihan.

“Tolong Ayah! Jangan sebut nama Ibu!”

“Ssssst… Ayah lebih sakit daripada kamu. Tapi ini cerita. Biarlah kita sama-sama marah mendengarnya.”

“Lalu apa hubungannya kisah Ibu denganku?”

“Begini. Lalu, Ibumu menikah sama laki-laki itu. Laki-laki itu suka kencing di tempat umum dan jarang dibersihkan! Setelah beberapa bulan, Ibu memberi tahu Ayah lewat pesan yang begitu menjijikkan. Setiap kali suaminya ingin melepaskan hasratnya, sering kali kewanitaan Ibumu….”

“Cukup! Aku tak mau mendengarnya....”

“Ya sudah. Tapi sedikit lagi. Ini terakhir.”

“Baiklah.”

“Lalu suami itu menumpahkan cairan ke wajah Ibumu! Itu seakan-akan mengencingi Ibu kamu! Aku jijik seorang yang kencing dikeramaian. Aku teringat cerita Ibumu!”

“Cukuuuup. Aku mohon selesai cerita itu. Menjijikkan!”

“Itulah kisah menjijikkan. Dan Ibumu sangat menyesal sudah selingkuh. Ia mengalami kekerasan dalam ranjang. Ia ingin sekali rujuk.”

“Ayah masih cinta sama Ibu?”

“Tidurlah.”


Maaf kalo ada typo
 
SECANGKIR TEH MANIS
Aku tak menyadari kalau perjalanan ini hanya tipuan. Kenapa mesti dengan cara seperti ini ia memperlakukanku. Kenapa mesti melakukan ini? Apakah demi menghindar perjumpaan? Padahal nanti aku tak akan melakukan kejahatan apa-apa. Aku cuma ingin berjumpa. Kebaikan yang aku berikan padanya dengan tebaran keakraban tak ada artinya. Oh dunia, sungguh penuh dengan kebohongan-kebohongan. Kenapa aku mempercayai seratus persen perkataan temanku? Kenapa pula aku mempercayai supir angkot itu? Tapi aku harus bagaimana? Sudah mendapat kebohongan, ditambah dengan kebohongan lain.

“Ah, sialan! Kenapa nyampe ke Sumber?”

Aku menelepon temanku. Ternyata tidak aktif. Mungkin sengaja. Aku mengelus dada. Nafasku terasa sesak akibat kejadian ini.

Apa ada yang salah bila aku mengunjungi rumahnya? Seharusnya bila ia tak mau kehadiranku di rumahnya, ia bisa bicara padaku dengan sejujurnya. Bukan malah menyesatkannya. Tapi ini sudah terlambat. Aku sudah di luar daerahku.

Pemandangan terlihat ramai. karena ini jalan raya. Laju kendaraan silih berganti. Membuat kepala sedikit pusing. Aku melihat kantor polisi.

Membuatku ada pikiran untuk melaporkan kasus penipuan ini. Tapi itu konyol. Aku ambil nafas. Aku lanjutkan perjalanan ke arah utara. Entah apa yang aku lakukan. Yang jelas, aku tak segera pulang kembali ke daerah asalku. Aku tak mau menyia-nyiakan kepergianku.

Kaki terus melangkah. Jarak sudah terlampau. Melihat di ujung Utara terdapat pemandangan yang indah. Hijaunya lahan yang membuatku tergugah untuk mendekati. Terlihat, di sepanjang jalan tertanam tanaman padi yang hijau dan subur. Tak lupa, terdapat pohon jagung, singkong. Memang bulan ini adalah musim penghujan. Banyak para petani yang memanfaatkan musim ini untuk bertanam padi dan yang lainnya.

Ada sosok gadis desa yang sedang berdiri. Mungkin anak petani. Tapi, ia berdiri di sebelah barat samping jalan. Aku tak menyadari kalau ada gadis cantik memakai kerudung. Aku hanya fokus melihat hijaunya tanaman padi.

Ia melihatku. Wajar. Karena aku orang pendatang. Wajahku masih asing. Bahkan para petani pun melihatku. Aku melihat kembali ke arah gadis itu. Ia tersenyum. Oh, sungguh suguhan yang jarang terjadi. Manis sekali gadis itu tersenyum. Aku balas pula dengan senyuman. Aku tertarik untuk mendekatinya.

“Hei, sendirian?” Dengan percaya dirinya, aku menyapa gadis yang kira- kira berumur dua puluhan.

Ia tetap tersenyum. Tapi bukan ke arahku. Aku merasa heran. Tadi ia tersenyum padaku. tapi sekarang ia tersenyum tapi bukan untukku. “Ah, aku sok ke-pede-an banget. Aku jadi malu.” Ia melihatku dan kembali tersenyum, melihat ke arah petani.

Hei, boleh kenalan gak?” Tanyaku

“Mau apa?” Ia tanya balik dengan pandangan curiga.

Ternyata ia tak seperti yang aku kira. Ia sulit bergaul dengan orang baru.

“Aku tersesat. Aku merasa ditipu kenalanku dari dunia maya.”

“Maksudmu?” ia tanya lagi. Padahal pertanyaan pertama dariku belum dijawab.

“Ee, aku punya teman yang sudah dianggap akrab. Aku kenalan lewat Facebook. Aku berencana ketemuan dengan temanku itu. Ia cewe, tentunya.

Tapi ia memberikan Informasi palsu. Pas aku bertanya pada tukang ojek, ternyata ini daerah Sumber. Bukan daerah Babakan.

“Babakan bukan disini!” ia langsung merespon. Mungkin agar pembicaraan ini cepat kelar.

Aku ingin kehadiranku di sini tidak sia-sia.

“Kau mengganggu kebahagianku! Kau perlu tahu. Kau merusak suasana bahagiaku. Kenapa mesti membahas masalahmu!”

Aku makin tak mengerti. Apa yang ia pikirkan tentang diriku? Aku dianggap telah mengganggu suasana bahagianya. Aku tak mengerti. Sehebat apa tingkah burukku? Aku cuma ingin berkenalan. Aku ingin kehadiranku di daerah ini tidak sia-sia.

“Kau kenapa? Aku cuma ingin mengkenalmu!”

“Terus setelah kau mengenalku, kau mau apa?”

Aku menelan ludah. Aku tenangkan diri. Jangan sampai sikap pemarahku muncul sama wanita ini. Sepertinya dia mempunyai masalah yang berat, atau punya kenangan yang pahit tentang lelaki. “Ah, tak tahu lah,” kataku menepis praduga.

“Maaf, aku mengganggu.” Dan aku melihat pemandangan ke arah para petani.

Aku berkata pada gadis yang terlihat kurus. Membahas tentang keindahan kehijauan. Mataku seakan mendapat kecerahan pandangan di saat melihat kehijauan. Mungkin ia tersenyum sendiri karena melihat suka-cita para para petani yang asik merawat tumbuhan hijau. Aku suka pemandangan ini. Tanah yang hijau bukan tanah yang silau.

“Sepertinya ini cara terbaik untuk menjalin pertemanan,” kayaku dalam hati.

“Maksud tanah yang silau?” tanya wanita judes heran.

“Tanah yang silau adalah dunia perkotaan. Di sana hanya ada gedung- gedung, jarang ada penghijauan. Aku beri nama denan tanah yang silau, sebagai simbol tanah yang banyak gedung pencakar langit.”

“Kau orang kota?”

“Kota besar. Aku dari Jakarta. Tadi malam aku berangkat. Dan sampai ke Cirebon pagi buta. Saat matahari terbit.”

“Kau tidak ada maksud jahat kan mendekatiku?” Curiganya mulai terlihat.

“Aku juga telah tertipu. Kau tau sendiri maksudku.”

Aku ingin berusaha mengenalinya lebih dalam lagi. Sepertinya ia punya masa silam yang suram. Ia mungkin wanita penyendiri. Terlihat ia belum bisa beradaptasi dengan orang yang baru ia kenal.

“Maafkan aku telah mencoba mendekatimu.” Aku memulai pembicaraan saat larut dalam suasana diam.

“Tidak apa-apa, seharusnya aku tidak seperti itu. Tapi kau harus janji. Kau tidak ada maksud jahat padaku!”

“Rupanya kau tak mengerti maksudku. Aku saja telah dijahatin orang. Memalsukan informasi untukku,” kataku sembari senyum menghiasi suasana yang masih keruh.

“Ya sudah, aku mengerti. Matahari telah cukup menyengat kulit. Lebih baik kita ngobrol di rumahku. Deket kok. Tuh, lihat?” Ia menunjukkan rumahnya yang memang dekat. Langkah demi langkah, kami menuju arah Barat; menghampiri rumahnya yang terlihat sederhana, tapi cukup menyejukkan hati.

“Di luar saja ngobrolnya,” kataku.

Sudah masuk saja,” ia merelakan kehadiranku. Suasana keakraban mulai terlihat. Itu yang aku harapkan. Tak ada rumput, akar pun jadi.
Aku duduk dengan lega. Tak sia-sia hadirku di sini. Apalah arti teman penipu. Kini telah menemukan wanita yang baik hati.
Wanita yang kini mulai bisa beradaptasi, membawakan minuman dan cemilan biskuit.

“Ah, aku jadi merepotkan.”

“Tidak apa-apa.”

“Aku heran sama... Boleh jujur?”

“Silahkan.”

“Kau pertama lihat begitu manis. Kau tersenyum padaku. Aku merasa, mm... aku terlalu percaya diri.”

“Hahaha...” ia tertawa riang. Aku cukup senang memandang senyumnya. Manis.

Terus, sampai aku mendekatimu. Ingin mengenalmu. Tapi, kau nampak berubah. Kau nampak angker untukku, hehe.. becanda.”

Lalu ia mulai membukakan rahasia hidupnya. Aku penasaran apa yang akan dibicarakan. Memang pembahasan ini merupakan tantangan sendiri. Sekaligus, sebagai terapi mental. Ia memberikan pengalaman- pengalaman dirinya tentang orang asing. Memang, kejadian buruk itu bukan ia yang mengalami langsung. Tapi pada adiknya, Maya. Adinya satu-satunya. Adik yang sebagai temannya di sawah. Adik yang aktif menghibur keluarga sehingga suasana selalu meriah, bahagia! Tapi, kini ia telah tiada karena penipuan. Ada dugaan, adiknya telah dijual ke luar negeri. Ya, cuma dugaan. Yang jelas, ia telah tak ada.

Aku...aku tak terima!” Matanya berkaca-kaca.

“Aku turut prihatin. Tapi, kenapa keluargamu percaya sama manusia penipu itu?”

“Kau jangan tanyakan begitu! Apa kau tak pernah lihat?! Banyak kasus seperti ini! Apakah keluarga yang tertipu itu tahu kalau akan terjadi seperti ini?!” katanya marah.

“Maafkan aku! Sekarang aku mengerti. Kenapa kau begitu angkuh melihat orang asing. Tapi, waktu itu, kenapa kau tersenyum padaku?”
Ia lalu tersenym. Aku merasakan kesejukan hatinya. Betapa tidak. Ia menangis, tapi menyempatkan senyuman untukku dan melupakan kesedihannya.

“Kenapa?”

“Idih lebay! Siapa juga yang tersenyum padamu.”

“Ih, bohong. Pasti kau tersenyum padaku!”

“Nyebelin! Gak! Gini ya, aku teringat kenangan-kenangan dulu sama adikku di sawah. Pokoknya mulai dari menanam, menyanyi, menari, makan bersama saat usai menanam, semua kumpul dalam tanah kehidupan.”

“Tanah kehijauan,” tambahanku.

Aku membayangkan, betapa bahagianya keluarga sederhana ini. Dan membayangkan betapa teganya orang yang menghilangkan kebahagiaan dengan cara jahat! Penipu itu telah menghilangkan hadir dewi kebahagiaan di keluarga ini. Betapa sedih. Aku pun merasakan hal yang sama bila itu terkadi pada keluargaku.

Aku melanjutkan kembali meminum teh yang sudah terasa dingin di lidah.
 
Back
Top