• link terbaru forum gocrot per 16 November 2024 : KLIK DI SINI

Kumpulan Cerpen Gokil (COPAS)

Virangel

GURU BK MESUM
Thread ini saya persembahkan untuk Suhu Besar serta 2 Cikgu saya @Jhon_hofman dan @Tj44
Daripada serius menggarap beberapa thread, refreshinglah sedikit dengan membaca kumpulan cerita pendek ini.
Silahkan di simak.
 
Pada Hari Minggu


Bangun tidur aku terus mandi. Habis mandi, aku tidur lagi. Ibu datang marah-marah dan menyuruhku merapikan tempat tidurku.
Ini hari minggu. Selesai merapikan tempat tidur, aku pergi ke kota, naik delman istimewa. Tiba-tiba di tengah perjalanan kudanya pingsan, mungkin belum sarapan. Terpaksa aku turun dan memanggil tukang becak, kereta tak berkuda. Tapi tukang becaknya memang mirip kuda.

“Becak..! Becak..! Tolong bawa saya”

Becak datang. Aku naik dan melanjutkan perjalanan. Tiga jam, aku nyampe kota. Eh tukang becaknya juga pingsan, mungkin karena kejauhan. Tanpa peduli aku langsung lari masuk perumahan. Aku teringat kuda pingsan, jadi kepikiran dari pagi aku belum sarapan. Lantas kuputuskan untuk mendatangi rumah makan. Masuk, duduk dan tanya seorang pelayan…

“Kamu, makannya apa?”

“Tempe!”

“Saya juru masaknya”

“Gak nanya!” Sewotku.

Selesai makan, aku lanjut perjalanan. Oiya, tujuanku ke kota ini adalah untuk bertemu teman. Tapi bingung alamatnya. Maka aku tanya siapa aja yang kutemui di sana. Kebetulan ada tukang bakso. Aku memanggilnya.

“Abang tukang bakso!”

Tukang bakso menoleh.

“Mari mari sini!”

Lalu ia menghampiri.

“Aku, mau tanya”

Tukang bakso mengkerut. Kepalanya botak seperti bulat baso yang bertumpuk di gerobaknya. Hanya saja dia ada mulut, dan dari mulutnya itulah keluar bunyi gerutu.

“Kirain mau beli, Dek”

Aku tersenyum, kemudian langsung mempertanyakan sebuah alamat padanya. Mana di mana, rumah teman saya? Rumah teman kamu, di bawah pohon waru. Ah, tukang bakso yang baik hati. Ternyata dia benar. Aku sudah sampai di pohon waru, dan di sanalah ada rumah temanku. Namanya, Parman. Tak kusangka, ternyata Parman memiara burung kakatua, dan sedang bertengger di dahan pohon. Sementara Parman kulihat sedang hinggap di jendela.

“Hey, Dit!” Songsong Parman.

“Hay, Man” aku melambai.

Aku masuk tanpa dipersilahkan, lalu duduk tanpa ditawari. Aku haus, pengen minum tapi gak disuguhi apa-apa. Nelen ludah tapi kering rasanya. Parman malah ngajak basa-basi.

“Susah gak nyari alamatnya?”

“Susah, hauuss banget”

Aku mau bilang ‘jauh banget’, tapi lidahku keserimpet. Mungkin akibat dehidrasi yang mengakibatkan kepalaku tidak seimbang. Gagal fokus. Si Parman sudah terlambat menyadari dari tadi.

“Ooh, iyaa,” Parman tepuk jidat “mau minum apa? Sori, lupa”

“Air aja”

“Iya, air apa?”

“Apa aja” jawabku acuh.

Parman pun ke dapur. 120 menit kemudian dia kembali, menghidangkan minuman es jus ke hadapanku. Wah!

“Jus apa, Man?”

“Jussss ketela”

“Singkong?”

“Iyaaaaa”

Kedengarannya aneh. Jangan-jangan rasanya juga ajaib. Tapi bodo amat, aku sangat kehausan. Kuhabiskan juga jus itu tanpa jeda. Benar-benar tidak enak, Parman! Gertak batinku.

“Enak ya?”

“Lumayan”

“Aku ambil singkongnya langsung dari kebun sendiri, lho. Kamu, mau lihat kebunku?”

“Penuh dengan bunga?”

“Iya”

“Enggak, ah”

“Lho kenapa?”

“Dari awal aku sudah bernarasi dengan banyak lagu anak-anak. Bosen. Sekarang aku pulang aja. Udah sore. Kambing-kambingku belum dikasih makan. Kasian, nanti kelaparan”

Aku pamit pada Parman. Dan Parman mengucapkan hati-hati di jalan. Kususuri jalanan dengan setengah berlari, mengingat hari hampir malam. Keluar dari gang, kutemui lagi tukang becak yang membawaku tadi siang. Rupanya dia sudah siuman.

“Mang, anterin pulang!”

Dia menoleh, setelah melihat wajahku dia langsung kembali pingsan. Aku menggaruk bingung.

_______FIN______
 
Curhatan Anak Sekolah Part #1

Ah, akhirnya gue bisa masuk juga.

‘Woy, kalo b*ker disiram dong!’

‘Shandy love Shinta’

‘Go follow my ig @allyaxx’

‘4k03h c1nt4a1-1 k4m?3h’


Hek. Gue keselek ludah sendiri. Siapa sih yang nulis tulisan-tulisan itu? Gue nentang keras kalo ada yang mau ngelanggar HAT(Hak Asasi Toilet) dengan nyoret-nyoret temboknya. Itu pelanggaran keras.

Tembok dibangun buat nutupin aib orang yang lagi buang air, bukan buat dicorat-coreti pake tulisan-tulisan alay nggak bermutu.

Lihat aja yang terakhir. Gue nggak percaya kalo masih ada makhluk 4l4y macem dia yang nulis tulisan 4k03h c1nt4ah k4m?3h itu di sekolah gue. Huek. (Oke, kayaknya gue mulai ikutan alay.)

Dan gue sadar, kalo muka gue melongo kayak orang yang lagi ada di masa trance sehabis dihipnotis…
…dan aktivitas b*ker gue berenti sesaat. Kayak… agak ngegantung gitu.

Eh. Gue tau itu bikin orang jijik. Gue aja jijik sama pola pikir gue sendiri. Tapi paling nggak, gue nggak alay, yang bakal bisa bikin orang lebih jijik lagi.

Gue cepet-cepet nyelesain aktivitas itu, bersih-bersih diri(taulah apa maksudnya, dan untung aja ada sabun), terus make celana rapi-rapi.

Gue berdiri, siap-siap buka selot pintu sebelum gue sadar sama pemandangan lain yang ada di tembok.

(1) Guru-guru mungkin bakal bilang kalo gue berantakan, tapi celana tanpa sabuk dengan seragam dimasukin setengah udah cukup rapi buat gue.

‘Jatuhkan dirimu sejatuh-jatuhnya sampai orang lain tidak bisa menjatuhkanmu @Naufal B…’

Barangkali itu emang bukan masalahnya. Yang gue permasalahin ada di bawahnya.

'...angsat. Sok bijak lu’

‘B’ di situ kan harusnya singkatan dari ‘bijak’, kenapa jadi… b*ngsat?

Gue tersinggung. Menurut gue itu quote yang bagus banget

(2), orang yang bikin itu pasti bijak banget, dan orang yang ngatain kalo orang yang bikin quote itu ‘sok bijak’ emang lebih b*ngsat dari orang ‘sok bijak’ itu

Gimana coba, seseorang yang udah jatuh ke dasar bumi dijatuhin lebih dalem lagi? Kalo ‘diinjek’ barangkali masih bisa, tapi orang itu nggak bakal jatuh lagi kan?

(3)Agak bingung? Sama. Bingung sendiri gue jadinya.
Gue nemuin banyak quote-quote Naufal lagi. Yang kebanyakan diejek juga

Astaga, Ya Lord, mereka ini kenapa sih? Iri, ya, karena nggak bisa bikin quote bijak begitu?

(4) Gambar anjing atau isi kebun binatang lain di sebelah nama, misalnya. Gue tebak, yang ngejek si Naufal ini adalah orang yang sama. Kelihatan dari gaya tulisan dan gambarannya. Dan kayaknya gue tau siapa dia.

Tapi, diantara semua tulisan ngawur itu, ada juga kok yang cukup bagus dan membangun. Kebanyakan yang bagus itu tentang saran buat sekolah dan keluhan tentang betapa ketatnya peraturan sekolah yang bikin mereka nggak semangat sekolah dan lebih sering ngelanggar daripada naatin.

‘Kenapa sih ga boleh bawa HP ke sekolah? Kan jadinya susah kalo mau nyari materi yang ga ada di buku’

‘Harusnya toiletnya dibuat lebih banyak biar yang kebelet nggak perlu antri lama-lama, kan kasian kalo harus ngantri lama.’

Ada juga yang barangkali kedengeran kurang ajar, tapi bisa jadi sindiran serius buat pengurus sekolah.

‘Itu dana BOS dari pemerintah dikemanain? Masak komputer di perpustakaan yang udah lama rusak nggak diganti atau diperbaiki gitu. Mana ruang komputer dikunci lagi. Ternyata bukan cuma pejabat negara yang pinter korupsi.’

Well, selalu ada yang baik diantara yang buruk

(5). Gue punya beberapa ide buat ngatasi coretan-nggak-keruan-di-tembok-kamar-mandi ini. Tapi kayaknya bakalan percuma. Siapa coba, yang bakalan dengerin omongan murid nggak berguna macem gue? Nggak ada, kecuali mungkin anak kecil polos yang gampang dikibulin. Wise enough, isn’t it?

Nyerah sama kondisi tembok kamar mandi dan gue sendiri yang nggak bisa nolongin HAT, gue keluar, jalan santai balik ke kelas, yang omong-omong lumayan jauh.





Hari Senin. Hari Setelah Minggu. Hari Capek. Hari Pertama Sekolah. Hari Ngeselin. Hari Sialan.
Hari Upacara. Hari Panas Keringat.
Peduli amat sama orang yang bilang kalo sinar matahari pagi itu baik buat tulang dan pertumbuhan. Lah si amat aja lagi ngadem tuh dibawah poon.

Yang namanya panas, mau baik buat tulang atau pasangan (salah, pertumbuhan) tetep aja panas. Nggak bakal berubah jadi dingin kecuali ada salju.

Gue udah cukup sering dihukum hormat bendera di siang bolong gara-gara ngebantah guru, coret-coret tembok toilet, nggak rapi berpakaian, kepergok bawa HP ke sekolah, dll, dst.

(6)Gue beneran menghargai HAT kok. Gue nulis kata-kata yang berguna dan berestetika tinggi di tembok toilet. Ini termasuk menghargai loh, karena bisa bikin tembok kelihatan bagus. Beda kalo yang ditulis itu macem ‘4k03h c1nt4a1-1 k4m?3h’. Itu beneran nggak berguna.

Itu udah cukup buat gue tanpa harus ada upacara wajib yang...

“Kepada Pak Randi selaku kepala sekolah kami tercinta, dipersilahkan naik ke podium untuk memberikan amanat bagi siswa.”
melibatkan amanat kepala sekolah sebagai salah satu susunan acaranya.

Gue nggak pernah beneran permasalahin tentang upacaranya. Gue fine sama ini. Gue ngerti tujuan upacara dilakuin.

Tapi, amanat kepala sekolah ini yang bikin gue kesel. Kalo Kepsek yang jadi penceramah upacara, durasi upacara bisa jadi 50% lebih lama.

(7) Yang lebih sering disebut siswa sebagai pertunjukan ‘Maut Massal’.
Dan, si Kepsek pasti bakalan teriak-teriak sampe bikin burung-burung di pohon melongo. Dan, pasti bakalan ada yang dihukum.

“Selamat pagi anak-anak,” orang gendut berkumis klimis kotak di bawah hidung itu mulai ngomong di depan mike.

“Pagi, Pak,” jawab semua orang yang denger, padahal yang wajib jawab kan cuma anak-anak.

“Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kesehatan bagi kita semua untuk berkumpul di sini.

“Atas izin-Nya, matahari bersinar cerah membawa berkah…”

Membawa kutukan

“–bagi kita semua.” bagi peserta upacara.

Bagi Pak Randi dan guru-guru lainnya, cuaca sepanas apapaun bakal tetep jadi berkah. Mereka semua berdiri di tempat tempat yang beda sama murid, di bawah bayangan pohon rindang. Pak Randi di podiumnya selalu dilindungi sama bayangan bangunan. Muridnya, di lapangan, nemenin krikil yang udah kepanasan duluan.

Gue berhenti dengerin. Kata-kata pembuka… basi. Nggak penting sama sekali. Nanti aja, kalau Maut Massal udah dimulai, gue bakalan aktifin indra gue lagi.

Gue udah hampir tidur berdiri waktu denger nama gue disebut. Gue pikir itu cuma khayalan, tapi waktu nama gue disebut lagi, gue langsung bangun sepenuhnya.

“Naufal Wicaksono, di mana kamu?! Maju ke depan!”

Gue mengerjap. Kenapa gue dipanggil? Salah gue apa? Orang gendut itu nggak bakal sadar, kan, kalo gue tidur berdiri? Matanya nggak setajem itu, kan?

“Iya, kamu. Cepat maju!”
Gue pasrah, jalan ngelewati murid lain ke podium pake muka bingung. Serius, gue nggak ngerasa ngelakuin salah apa-apa.

Terakhir kali gue ngelanggar itu hari Jum’at, waktu nulis di tembok kamar mandi. Gue udah dihukum sama guru lain, Bu Ani. Sumpah. Gue nggak ngelanggar apa-apa lagi sehabis itu. Seragam gue juga udah beneran rapi selama hari Sabtu.
Lalu 'Salah gue apa?'

Mata Pak Randi udah melotot kayak mau keluar waktu gue udah deket podium. Tangan gue ditarik kasar, badan gue diarahin hadap peserta upacara.

Tapi kepala gue tegak, ngadepin pelototan guru-guru dan murid-murid lain yang terkesan menghakimi. Gue nggak peduli mereka bakal bilang kalo gue nggak punya malu atau apalah, I don’t care.

(8) Murid lain yang ada di posisi ini biasanya udah nunduk semenjak dia jalan ke sini. Mereka udah tau kalo mereka salah, dan mereka takut. Beberapa yang beneran nggak punya malu juga tetep nunduk, tapi sambil nyengir.

Gue nggak ngerasa salah. Kepala gue bakalan nunduk pada waktunya, kalo manusia gendut di samping gue ini udah bilang apa salah gue.

“Kamu tahu kenapa kamu saya panggil ke sini?”

Note: beberapa kata kasar yang ada di dalam cerpen ini tidak untuk ditiru. Cuma manusia sekolahan yang nyoba nulis karena kehabisan novel buat dibaca.
 
Curhatan Anak Sekolah Part #2

“Kamu tahu kenapa kamu saya panggil ke sini?” tanya Pak Randi.

Matanya melototin gue kayak mau keluar dari rongganya. Eh, dari tadi kan emang kayak gitu. Gue tetep bales tatapan maut Pak Randi.

“Nggak, Pak.”

Pak Randi kelihatan nggak percaya, “Kamu tahu apa kesalahan kamu?”

Wajar. Semua murid pasti akan menjawab “Nggak” waktu pertama ditanya.

“Tidak, Pak. Saya tidak merasa melakukan kesalahan apa-apa,” kata gue lebih tegas.

“Tidak merasa?” tatapan Pak Randi kelihatan makin murka.

Tapi itu nggak cukup buat mengintimidasi gue. Gue hampir lebih tinggi dari Pak Randi. Ini cukup buat bikin gue percaya diri.

Kepsek gendut itu mundur dikit. Tangannya ngasih isyarat manggil Pak Bon, tukang bersih-bersih sekolah.

Pak Bon nyerahin dua lembar kertas ke Pak Randi, terus beliau pergi dari area upacara, balik ke deket bangunan lab IPA.

Pak Randi ngasih lihat salah satu kertas ke muka gue. Mata gue nyipit sedikit, gue ngenalin foto itu.
Kertas itu ditarik. Gue nggak bisa lihat lagi, tapi gue tau foto apa itu.

“Tolong beritahu kami semua apa yang ada di kertas itu,” kata Pak Randi, berusaha kalem walau nggak ada hasilnya.

Gue hadepin kepala gue ke arah peserta upacara. “Itu foto saya,” kata gue lantang,

“waktu kepergok lagi corat-coret tembok kamar mandi hari Jum’at kemarin.”

Semua murid tetep diem. Mereka tahu reputasi gue, kebiasaan gue yang satu itu. Mereka termasuk Pak Bon dan guru-guru lain tahu kalo Naufal B.

(10) itu nama pena gue tiap nulis kalimat bijak di tembok.

Begini skemanya. Bijak=Bijaksana. Dalam bahasa jawa, Bijaksana=Wicaksono. Jadi, Naufal B. =Naufal Wicaksono.

“Tahu kesalahan kamu sekarang?” tanya Pak Randi, natap gue lagi.

“Saya salah karena mencoret-coret tembok kamar mandi,” kata gue. Pak Randi senyum seneng.

“Tapi, Bu Ani sudah memberi saya hukuman. Hari Jum’at,” gue nggak mau kalah. Gue udah dihukum atas kesalahan gue.

“Benar,” sahut Pak Randi, senyumnya berubah jadi agak licik.

“Tapi bukan itu yang saya permasalahkan.” Kening gue berkerut. Apalagi ini?

Pak Randi ngasih kertas yang satunya ke gue. Gue masih ngernyit, nggak ngerti. Beberapa detik gue liat foto di kertas itu, gue paham.

Ini kalimat sindiran yang dicoretin di tembok kamar mandi. Kepsek bulet itu pasti nuduh gue, ngira kalo gue yang nulis kalimat kurang ajar itu di sana.

Tapi itu bukan gue yang nulis.
Pertama, bentuk tulisan gue beda.
Kedua, nggak ada inisial Naufal B-nya.
Ketiga, gue nggak bakal nulis kritikan di kamar mandi.
Keempat, gaya bahasa gue agak sedikit beda dari tulisan itu.
Kelima, gue nggak peduli sama perpustakaan, dateng ke sana aja hampir nggak pernah.
Keenam… Oke, kayaknya udah cukup banyak alesan.

“Tolong baca tulisan itu keras-keras, Naufal,” kata Pak Randi motong pemikiran gue sambil senyum puas.

Gue tersenyum sama puasnya. Gue punya sedikit trik yang bisa bikin tuh manusia bulet kesel.

“Saya baca, ya, Pak,” kataku perlahan.
Pak Randi mengangguk pelan.

“Empat ka nol tiga ha ce satu en te empat a satu minus satu ka empat em love tiga ha,” semua yang denger ngernyitin dahi. Gue nyengir.

“Kalau disingkat jadinya,” nada suara gue berubah jadi nada suara guru paud. “Akoeh cinta-ah kamoeh.”

(11) Gue anggep itu bahasa asing.
Gue denger banyak suara kayak keselek. Sedetik, terus semuanya ketawa. Gue juga ikutan ketawa, apalagi ngelihat muka Pak Randi yang udah kayak mau makan orang.

Semua murid langsung dapet pelototan telur puyuh dari Pak Randi. Dan semuanya diem, seolah mulutnya dijejelin telur benran.

“Kamu tahu bukan itu yang saya maksud,” desis beliau.

Gue nahan cengiran. “Terus yang mana dong, Pak? Apa Yang ‘Woy, kalo b*ker disiram dong!’ itu?”

Suara keselek lagi, sekarang lebih kentara. Banyak yang nahan ketawa, yang bunyi akhirnya jadi ‘preeet-breet-brrut’.

Sebagian suara itu keluar gara-gara mereka nutupin mulut mereka pake tangan. Sisanya, mungkin, karena mati-matian nahan ketawa, jadinya dilepasin lewat belakang (you know what I mean).

Gue ngelihat ekspresi Pak Randi yang makin jadi. Mukanya kayak Joker yang pengen bales dendam. Sulit dijabarkan, tapi yang jelas lucu dan nyeremin di saat yang sama. Mulutnya meringis, giginya kelihatan. Matanya udah kayak telur ayam yang berusaha dikeluarin induknya lewat pantat.

Beberapa detik, mereka bisa nguasain diri. Semuanya berhasil berhenti ketawa walau mulut mereka nggak bisa berhenti senyum.

Pak Randi juga bisa nguasain diri. Mukanya jadi dingin. “Yang paling besar, Naufal.”

“Ooh, bilang dong, Pak.” Gue nemuin tulisan yang paling besar, tapi bukan yang dimaksud Pak Randi. Sekali lagi.

Sementara murid lain masih senyum-senyum, gue baca,

“Shandi love Shinta,” pake penekanan tiap baca huruf sh. Dan nggak ketinggalan, bibir monyong.

Murid-murid ketawa lagi, kali ini nggak ditahan. Tulisan kayak begini udah familiar banget, jadi mereka paham maksud gue dan mereka ketawa.

Di tengah lautan tawa, gue denger Pak Randi mengerang. Beliau ngerebut kertas foto itu dari tangan gue.

“Biar saya yang baca!” bentaknya. Semua yang sebelumnya ketawa, langsung diem. Gue pun tahu kalo gue juga harus diem.

"Itu dana BOS dari pemerintah dikemanain?'” Pak Randi baca pelen-pelan.

“Masak komputer di perpustakaan yang udah lama rusak nggak diganti atau diperbaiki gitu. Mana ruang komputer dikunci lagi. Ternyata bukan cuma pejabat negara yang pinter korupsi." Selesai.

Kertas itu diturunin dari wajah Pak Randi. Semua orang diem. Semua orang tahu kalo udah saatnya buat diem. Serius.

“Itu tuduhan serius,” salah satu murid nyeletuk. Nggak ada yang mau repot-repot nyari siapa yang barusan ngelanggar etika keheningan.

Lagian, semua juga tahu kalo itu tuduhan serius.

“Dan apa ada yang tahu siapa yang menulis ‘tuduhan serius’ ini di tembok kamar mandi?” tanya Pak Randi.

Retoris, menurut gue. Nggak ada yang bisa nebak siapa yang beneran nulis itu kecuali penulisnya sendiri. Dan nggak bakal ada yang cukup berani (atau bodoh) buat ngakuin kelakuannya.

“Dari pernyataan guru-guru,” kata Pak Randi lagi, “yang paling sering terpergok sedang mencoret-coret tembok kamar mandi adalah dia,” Pak Randi ngacungin telunjuknya ke arah gue,

“Naufal Wicaksono.”
Gue ngatupin rahang, kesel. Dia beneran nuduh gue.

“Itu juga tuduhan serius,” murid tadi nyeletuk lagi. Dia bodoh, tapi di sisi lain gue seneng ada yang mau ngebela gue (paling nggak, dia obyektif).

Mendenguslah aku karena kekesalan yang mulai muncul (ehm, abaikan bahasa yang kelewat formal itu).

“Bapak punya bukti kalau saya yang nulis tulisan kurang ajar itu?”

“Buktinya tidak perlu saya paparkan di sini. Nanti, Bu Ani yang akan bicara dengan kamu tentang ini.”
Aku nggigit lidah, nahan biar nggak ngomong kata-kata vulgar bin kasar binti kurang ajar ke dia. Bilang aja kalo nggak punya bukti, Pak Gendut Sia'

Hah. Dia ini kepsek. Dan gue bakal kena lebih banyak masalah kalo ngomongin semua yang ada di pikiran gue sekarang.

“Pak,” kataku ati-ati, tapi tegas.

“Bukan saya yang nulis kritik atau tuduhan itu di tembok kamar mandi. Saya bisa kasih banyak argumen buat ngelawan tuduhan Bapak. Saya berani sumpah segala”

“Lakukan itu di depan Bu Ani. Sekarang tolong kembali ke barisanmu.”

Sh*t. Sialan. F*ck. Bit*h...
Gue ngepalin tangan kuat-kuat, nahan kata-kata kotor itu buat tetep di pikiran gue aja.

“Baik, Pak. Selamat pagi.” Nggertakin gigi, gue balik ke barisan.

Di barisan, ada yang bisik-bisik (sok) prihatin macem “Sabar, bro. Emang bukan elu kan yang nulis?” atau “Tahan, tahan, omongan tuh kepsek nggak usah dimasukin hati.”

Tapi gue milih diem. Andai nggak lagi upacara, udah gue tabok mereka semua. Gue tau, sebagian omongan mereka itu cuma topeng.

Pasti ada dari mereka yang ngetawain gue dan beneran seneng waktu gue dipanggil ke depan.
Dan gue. Nggak. Peduli. Apalagi sama topeng-topengan itu.
Inilah dunia. Inilah sekolah.

Selamat datang di sekolah gue, sekolah dimana kritik adalah tuduhan kasar, dimana teman kebanyakan adalah ilusi, dimana keluhan adalah pelanggaran.

Dan gue yakin, mereka semua, kami semua, nggak bakal berhenti nulis curhatan di kamar mandi, berharap bakal ada yang ngeliat dan peduli.

Kayaknya HAT udah nggak punya kesempatan deh untuk membela hak para penggunanya.
 
Di Hari sumpah pemuda, di sebuah Danau Buaya ada sayembara yaitu, bagi siapa yg berani nyemplung ke danau dan naik lg ke tepi danau akan mendptkan hadiah Rp.100.000.000,-

Setelah ditunggu sekian lama tdk ada yg berani terjun.
Akhirnya terdengar suara "byyyyuur...!!!" dan terlihat ada seorang laki-laki terjun ke danau kemudian dgn sekuat tenaga ia berenang menuju tepi danau dgn raut muka yg pucat krn dikejar buaya, dan napas tersengal sengal.

Akhirnya ia sampai juga di tepi danau.

Pengunjung bersoraaaak...!!!
panitia memberi salam kepadanya demikian pula diberikan hadiah Rp.100.000.000,-

Tetapi dia dgn marah sekali berkata sambil setengah berteriak:

"Saya mau tahu...!!! siapa tadi yg sengaja mendorong saya ke danau...???"

Setelah tengok ke belakang terlihat isterinya senyum senyum senang dpt uang 100 jt.

Benarlah kata pepatah.......:
DI BELAKANG SUAMI YG SUKSES, AKAN ADA SEORANG ISTERI YG SELALU MENDORONGNYA...!!!
 
Back
Top