R Wijaya
Balita GoCrot
Arjuna Sasra bhau
Selang beberapa lama, tampaklah keunggulan perwira-perwira Kerajaan Maespati. Satu persatu Narpati-narpati Kerajaan Widarba berguguran, kecuali Patih Godadarma tampak sangat tangguh ketika menghadapi Narpati Soda. Narpati Soda sudah banyak terluka dan amat kepayahan. Ketika saat kritis keris Patih Godadarma akan melibas leher Narpati Soda, sebilah pedang menahannya, hingga arah keris itu melenceng bahkan terlempar saking kuatnya pedang itu menangkisnya.
Tampak tubuh tegap menghalangi tubuh Narpati Soda. Sumantri telah menolong atasannya pada saat-saat genting. Patih Godadarma tidak ambil pusing siapa yang telah menolong lawannya, dia segera memungut kerisnya dan langsung menyerang Sumantri. Pertarungan berlangsung seru, tetapi tidak berlangsung lama, Patih Godadarma terdesak hebat oleh sabetan-sabetan pedang Sumantri, hanya masalah waktu bagi kejatuhan Patih itu, ketika pedang Sumantri menyabet dada dan menembus pinggang sang patih.
Patih Godadarma, narpati terakhir dari Kerajaan Widarba yang masih berdiripun akhirnya tumbang. Sejak saat itulah nama Sumantri mulai diperhitungkan dan mulai diperbincangkan diantara para perwira Kerajaan Maespati.
Bukan kepalang marahnya Prabu Darmawisesa ketika melihat adiknya, Patih Godadarma dan kelima raja kerabatnya tewas.
Maka sambil menghunus sebilah keris Baginda bermaksud menyerang malam itu juga, jika tidak ditenangkan adiknya Dewi Darmawati, untuk maju perang pada hari berikutnya saja. Pada hari berikutnya Prabu Darmawisesa yang memimpin pasukannya langsung, dan kali ini Sumantri memimpin seluruh pasukan mewakili Narpati Soda yang terluka.
Pertempuran antara kedua pasukan berlangsung seru dan ketat, tetapi Sumantri melihat semakin banyaknya korban berjatuhan, maka dia bersiap mengakhiri perang dengan caranya sendiri. Sumantri menghunus panah pusaka Cakrabeswara dan melepaskan kearah pasukan Widarba. Para panglima perang Widarba itu berguguran diamuk senjata itu. Bahkan tombak pusaka Prabu Darmawisesa yang dilontarkannya tidak mampu menahan laju melesatnya panah Cakrawisesa. Tombak pusaka hancur luluh. Prabu Darmawisesa masih memiliki senjata panah pusaka, bernama ‘Kresna Pujangga’.
Dia segera menghunuskan untuk menahan laju terbang Cakrabeswara. Benturan kedua panah pusaka menimbulkan dentuman kuat di udara disertai semburatnya sinar. Akan tetapi senjata Kresna Pujangga nampak menghilang karena tidak sesakti Cakrabeswara. Dan panah Cakrabeswara masih berputar-putar di angkasa, lalu menukik ke arah Prabu Darmawisesa.
Tubuh sang prabu meledak berkeping-keping disambar panah Cakrabeswara. Melihat peristiwa itu, balatentara Widarba nampak sangat ketakutan dan segeralah mundur. Diantaranya banyak tentara yang melarikan diri sambil membuang senjatanya dan adapula yang menyerah.
Sebaliknya balatentara Magada bersorak-sorai sambil menyerbu mengejar bala tentara Widarba yang ketakutan. Sumantri dielu-elukan segenap prajurit dan dibopong sepanjang perjalanan kembali ke kerajaan Maespati. Narpati Soda yang terluka memaksakan diri menyambut di pintu gerbang, dia segera memeluk Sumantri, yang telah menyelamatkan seluruh balatentara Maespati dan Magada. Dia segera berniat melaporkan akan jasa-jasa Raden Sumantri kepada Prabu Arjuna Sasrabahu, esok harinya.
Keesokan harinya Prabu Arjuna Sasrabahu mengadakan rapat lengkap, dihadiri semua Narpati yang merupakan Raja-raja yang berniat dengan suka rela bergabung dan takluk dengan Kerajaan Maespati.
Rapat antar petinggi Maespati berlangsung di balairung kerajaan, nampak Sumantripun hadir disamping Narpati Soda. Rapat membahas hasil pertempuran yang berlangsung kemarin, semua Narpati melaporkan akan kehebatan dan jasa-jasa Sumantri yang bertempur dan membunuh Prabu Darmawisesa.
Mereka serempak menyatakan jika tidak ada Sumantri, pasukan Widarba tentu akan mampu mengalahkan pasukan Magada, karena kesaktian dari Prabu Darmawisesa yang sangat tinggi. Tetapi berkat adanya Raden Sumantri yang meghalangi angkara murka Prabu Darmawisesa, semua Narpati prajurit dapat selamat. Bahkan lebih dari itu, Raden Sumantri mampu mengalahkan dan membunuh Raja Widarba tersebut.
Demikian laporan para Narpati berebut saling mendahului dan saling melengkapi laporan dari lainnya. Sumatri hanya tertunduk malu dan jengah.
Disinilah Sumantri mulai belajar mengendalikan emosi dan pikiran positifnya untuk bertindak lebih maju kearah pencapaian terbaik, mengabdi langsung kepada Baginda Prabu Arjuna Sasrabahu. Sumantri mulai bisa mengendalikan ambisinya, meskipun peluang bagi ‘si penjilat’ terbuka lebar untuk menunjukkan ke-akuannya. Tetapi tidak bagi Sumantri, dia tetap tertunduk khusu menunggu keputusan Sang Prabu.
Yang ditunggu-tunggupun tiba, Prabu Arjuna Sasrabahu memanggilnya. Beliau ingin lebih bertatap muka. Sumantri mendekat dengan posisi ‘abdi dalem’ yaitu bergeser mendekat dengan cara beringsut, tidak menegakkan kedua kakinya. Sang Prabu terpana karena usia merekapun hampir dan mungkin sebaya, dengan wajah ada kemiripan layaknya wajah seorang kakak beradik. Sumantri diam saja, tidak memperkenalkan diri bahwa dia dan Prabu masih saudara sepupu dekat. Dia ingin prestasi jabatannya berdasarkan hasil jerih payah dan keahliannya. Juga tatkala Sang Prabu menanyakan nama dan asalnya. Sumantri menjawab lengkap namanya sebagai Bambang Sumantri anak seorang resi dari pertapaan Jatisarana. Sang Prabu menanyakan maksud Sumantri mengabdi di Maespati. Sumantri sangat tertarik oleh kemuharan hati Prabu Arjuna Sasrabahu. Sumantri bersedia menyumbangkan tenaga untuk melakukan titah Sang Prabu. Sang Prabu menyampaikan pertanyaan sulit yang diwanti-wanti ayahnya, agar berhati-hati dan harus bisa membawa diri di hadapan Sang Prabu. “Bambang Sumantri, apakah yang kau harapkan dari tahtaku ini? Bila kau harapkan keutamaan tidaklah mungkin, karena diriku sendiri belum sempurna. Bila engkau mengharapkan kemuliaan engkau tak akan dapat bahagia. Apa gunanya engkau ingin menghambakan diri? Cita-citamu itu akan berganti dengan derita belaka. Adapun para raja yang cinta kepadaku itu, bukanlah mengharapkan kemuliaan. Mereka sekedar ingin persaudaraan, ingin berkumpul dan bersatu dengan daku yang kurang pengetahuan.” Sumantri yang cerdas menjawab diplomatis menyembunyikan ambisinya dengan menjawab: “Duh wahai Tuanku, ampunilah hamba. Bukanlah itu maksud hamba. Cita-cita hamba ialah ingin mengabdi kepada Tuangku Prabu.” Maka tertariklah Sang Prabu Arjuna Sasrabahu ketika mendengar jawaban Raden Sumantri. “Bambang Sumantri, keinginanmu itu akan kukabulkan. Bersediakah tenagamu untuk pergi Magada.” ujar Sang Prabu. Sumantri sudah mendengar dari Narpati Soda, bahwa Baginda Prabu akan meminang kakak raja Magada, yaitu Dewi Citrawati. Tapi pengetahuannya itu disimpannya dalam hati, hingga Sang Prabu sendiri yang mengutarakannya. Sumantri bertanya sopan: “Apakah kehendak Paduka Tuanku di Kerajaan Magada itu?.” “Aku bermaksud akan meminang Dewi Citrawati. Semula aku akan membantu Prabu Citragada Raja Magada, tetapi engkau telah menyelesaikan apa yang menjadi rencanaku. Maka baiklah Sumantri pergilah engkau ke Magada sebagai wakilku untuk meminang Sang Dewi. Segala tanggung jawabku, kuserahkan kepadamu. Tapi sebelum itu pergilah ke perbendaharaan dan gantilah pakaianmu dengan sesuka hatimu. Ikutilah penjaga itu, dia akan mengantar ke ruangan perbendaharaan. Dan ajaklah uwa Semar dan putera-puteranya.” Penjaga keraton mengajak Sumantri ketempat Semar dan anak-anaknya berkumpul, sebelum ke kamar perhiasan. Selama menunggu Sumantri dan Semar kembali dari kamar perhiasan, Prabu Arjuna Sasrabahu memanggil semua pejabat teras dan para Narpati. Beliau akan membuat keputusan penting.
Bersambung