LIMA
SEMALAM-MALAMAN itu Warih Sinten tiada hentinya menangis. Matanya sudah merah dan bengkak. Ki Lurah. Kundrawana sendiri yang juga tak bisa tidur, melangkah mundar mandir tak berketentuan. Hatinya gelisah dan cemas, memikirkan diri anaknya yang telah dibawa oleh komplotan Tapak Luwing. Tapi hatinya juga gemas dan geram tiada terperikan! Baginya keselamatan diri dan isterinya tidak begitu penting jika dia ingat nasib anak lakilakinya itu, anak satu-satunya yang mereka miliki. Dan soal pajak itu, benar-benar membuat Ki Lurah Kundrawana seperti mau gila memikirkannya. Dia tak akan bisa mengadukan persoalan ini pada Adipati di Linggajati atau kepada Raja demi keselamatan anaknya. Satu-satunya jalan hanyalah mengikuti aturan dan perintah gila Tapak Luwing. Tapi bagaimana nanti sikap rakyat terhadapnya?
Bukan saja pajak itu sangat berat bagi mereka, tapi penduduk .pasti akan mencapnya sebagai tukang peras dan mungkin akan timbul kemarahan di kalangan penduduk! Kalau dia musti memungut sepuluh kali jumlah pajak yang harus diserahkan pada Tapak Luwing, maka ditambah dengan yang harus diserahkan pada Adipati di Linggajati akan menjadi sebelas kali dari yang sudah-sudah! Kalau tidak ingat-ingat kepada Tuhan maulah Lurah Bojongnipah itu ambil kerisnya dan menusuk diri dengan senjata itu! Namun dia tahu ini bukanlah penyelesaian yang baik.
Keesokan paginya terpaksa juga dia melalui seorang pembantunya mengirimkan kabar berkeliling penduduk desa bahwa mulai bulan depan pemungutan pajak besarnya sebelas kali dari yang sudah-sudah. Ini adalah sesuai dengan garis kebijaksanaan Raja demi untuk, pembangunan dan memelihara balatentara yang kuat, demikian alasan yang dibuat-buat oleh Ki Lurah Kundrawana untuk menutupi apa yang sebenarnya.
Bila berita itu sudah sampai ke seluruh pelosok maka dalam sikap penduduk Bojongnipah mulai kelihatan pertentangan-pertentangan. Rata-rata mereka mengatakan bahwa ini adalah satu penindasan. satu pemerasan terang-terangan. Demi pembangunan dan demi balatentara yang kuat apakah rakyat harus dkekik lehernya dengan pajak yang besar tiada terkirakan lihat gandanya itu?! Beberapa orang tua-tua desa menemui Ki Lurah Kundrawana tapi Ki Lurah tak bersedia berhadapan dengan mereka. Orang tua-tua desa tentu saja heran kali melihat sikap Lurah mereka yang dulunya itu begitu baik bijaksana dan ramah tapi kini, jangankan untuk bicara tentang persoalan kenaikan pajak itu, bahkan untuk bertemu sajapun dia tidak mau! Disamping itu ketika mereka berada di rumah Ki Lurah, telinga mereka mendengar terus-terusan suara tangis Warih Sinten, isteri Lurah.
Ada apa pula dengan diri perempuan itu? Betul-betul banyak hal yang tidak mengerti orang tua-tua desa saat itu! Dan ketika tiba saat pemungutan pajak yang pertama, banyak di antara.penduduk yang tak mau membayar. Dengan menekan pertentangan yang senantiasa melekat dihatinya Ki Lurah terpaksa mengancam orang-orang itu. Siapa-siapa penduduk yang tak mau membayar pajak dalam jumlah yang telah ditentukan, akan ditangkap dan dibawa ke Kotaraja! Akhirnya terpaksa juga penduduk membayar.
Dalam pemungutan pajak-yang kedua terjadi kekacauan namun masih sanggup diatasi oleh Ki Lurah Kundrawana. Menjelang pemungutan pajak yang ketiga Ki Lurah Kundrawana mendengar kabar bahwa penduduk akan mengadakan pemberontakan! Lakilaki ini tak bisa menyalahkan penduduk. Suatu malam dengan diam-diam pergilah Ki Lurah Kundrawana ke Linggajati untuk menemui Adipati Boga Seta. Kepada Adipati ini dilaporkannya segala apa yang terjadi. Boga Seta kelihatan terkejut sekali. Ketika Ki Lurah Kundrawana minta diri, Boga Seta berjanji akan mengirimkan serombongan pasukan Kadipaten selekas mungkin. Namun menjelang semakin dekatnya hari pemungutan pajak yang ketiga itu tak satu prajurit Kadipatenpun yang muncul!
Ki Lurah Kundrawana kehabisan akal, betul-betul bingung. Sementara itu tandatanda bakal terjadinya pemberontakan semakin jelas dan santar. Dalam kebingungannya di waktu yang sempit itu Ki Lurah Kundrawana akhimya berhasil menemui Tapak Luwing di luar desa.
“Ada keperluan apa, kau menemui aku, Ki Lurah ?” bertanya Tapak Luwing sambal menggerogoti daging panggang yang barusan dipanggang oleh anak-anak buahnya. Saat itu Tiga Hitam dari kali Comel berada di pinggiran hutan. “Ada kesulitan katamu ? Hem… Apa kau tahu bahwa besok adalah hari pemungutan uang pajak itu dan lusanya menyerahkan pada kami di persimpangan jalan yang menuju ke Linggajati?”
“Aku tahu Tapak Luwing. Justru kesulitan ini ada sangkut pautnya dengan pemerasanmu!” jawab Ki Lurah Kundrawana pula.
Tapak Luwing tertawa dan melemparkan tulang daging yang dimakannya ke dekat kaki kepala desa Bojongnipah itu.
“Tentang kesulitan ini, apakah kau sudah pergi kepada Adipati Boga Seta di Linggajati?,” Tanya Tapak Luwing seraya tertawa dan berdiri dari duduknya di batang kayu tumbang.
Ki Lurah Kundrawana terkejut dan berubah parasnya. Dalam hati dia bertanya-tanya apakah kepala perampok ini mengetahui kepergiannya ke Linggajati menemui Adipati Boga Seta itu?
Suara tertawa Tapak Luwing semakin keras. Tampangnya kelihatan tambah angker dan tiba-tiba, tak terduga oleh Ki Lurah Kundrawana, tamparan tangan kanan kepala rampok itu mendarat di pipinya.
“Tapak Luwing kau…”
“Plak!”
Untuk kedua kalinya tamparan Tapak Luwing menghajar muka Kundrawana.
“Berbacot lagi,” bentaknya, “Kurobek mulutmu!”.
“Tapi Tapak Luwing…”
“Aku sudah bilang agar jangan mengadukan persoalan ini kepada siapapun! Dan kau telah pergi kepada Adipati Boga Seta! Apa kau lupa hukuman yang bakal diterima anakmu?!”
Maka pucatlah muka Ki Lurah Kundrawana!
“Kau… kau apakan anakku, Tapak Luwing…?
“Sekarang kau ketakutan sendiri ya? Sialan! Adipati Boga Seta telah rnengirimkan lima orang prajuritnya ke Bojongnipah, tapi aku telah mencegatnya ditengah jalan dan kelimanya telah menemui ajal akibat kebodohanmu!”
“Anakku… anakku bagaimana…?” tanya Ki Lurah Kundrawana setengah menangis setengah merengek!
“Aku masih berbaik hati untuk kasih ampun kesalahanmu kali ini! Di lain hari, jangan harap aku bakal mau memaafkan kau…”
Legalah dada Ki Lurah Kundrawana. Tapi jika dia mau berpikir panjang sedikit dan tidak keliwat gelisah maka dia akan melihat adanya keganjilan dengan ucapan Tapak Luwing hari ini dengan tiga minggu yang lalu. Dulu Tapak Luwing mengancam akan membunuh anaknya bila dia mengadu kepada Adipati atau Raja. Dan dia telah mengadukan
hal itu kepada Adipati Boga Seta dan anehnya Tapak Luwing mau memberikan ampun kepadanya, padahal dengan demikian persoalan kejahatannya bukan saja telah sampai ke tangan Adipati tapi pasti akan diteruskan ke Kotaraja, apalagi sesudah pembunuhan atas lima prajurit Kadipaten itu !
“Sekarang terangkan mengenai kesulitan yang kau katakan itu, Ki Lurah!,” kata Tapak Luwing pula.
“Penduduk desa akan melakukan pemberontakan besok kalau aku masih juga memungut pajak gila itu!,” kata Ki Lurah Kundrawana pula.
“Begitu? Dulu kau bilang tidak takut mampus! Kini ada bahaya yang mengancam jiwamu kenapa terbirit mencari aku…?!”
Ki Lurah Kundrawana mengatupkan rahangnya rapat-rapat.
“Kembalilah ke Bojongnipah. Ki Lurah, Besok kami akan datang ke sana…” berkata Tapak Luwing.
“Kuharap jangan sampai terjadi kekerasan”.
“Soal itu urusan kami. Kau tak perlu ikut campurl,” kata Tapak Luwing pula.
“Bisa aku ketemu anakku, Tapak Luwing ?” tanya Ki Lurah Kundrawana.
“Kali ini tidak dulu,” jawab kepala rampok itu. Kepala desa Bojongnipah itu termenung sejurus. Kemudian dengan langkah gontai dia berjalan ke kudanya dan naik ke atas punggung binatang itu
Sebelum berlalu Ki Lurah Kundrawana bertanya, ‘Tapak Luwing, sampai kapan kebejatanmu ini kau timpakan padaku…?”
Tapak Luwing tertawa. “Tak usah banyak tanya ! Lebih baik pikirkan.nasibmu besok hari. Mungkin penduduk desa sudah mencincang tubuhmu sebelum kami datang…!”
* * *
Di pelosok-pelosok desa terdengar kokokan-kokokan ayam bersahut-sahutan. Puncak dinginnya malam telah lewat dan kesegaran pagi yang ditandai oleh terangnya langit di ufuk timur menyatakan bahwa malam sudah sampai ke ujungnya untuk digantikan kini oleh kehadiran pagi.
Ki Lurah Kundrawana menyalakan tembakau pipanya. Mukanya sudah cekung dan matanya kelihatan kuyu sedang parasnya pucat. Namun dibalik keredupan wajahnya itu tersembunyi sesuatu yang seperti menyala. Sesuatu itu ialah amarah dan rasa geram yang tiada terperikan!
Di sedotnya pipa itu. Mulutnya terasa tak enak. Dia meludah ke tanah lewat langkan. Sejak dulu apalagi sejak beberapa hari terakhir ini lidahnya memang terasa tidak enak, pahit. Makannya boleh dikatakan dapat dihitung suapnya. Semakin terang hari semakin gelisah dia, semakin kuatir Lurah Bojongnipah ini. Yang dikhawatirkannya ialah kalau-kalau penduduk akan datang lebih dahulu dari pada Tiga Hitam dari Kali Comel! Sebentar-sebentar matanya memandang ke luar halaman. Namun segala sesuatunya dipagi itu masih diliputi oleh kesunyian. Dan kesunyian ini pula justru tidak menyenangkan hati Ki Lurah Kundrawana !
Ditempelkannya lagi ujung pipa ke bibirnya. Disedotnya dalam-dalam kemudian dihembuskannya asap pipa itu. Sekali lagi dia meludah ke tanah lalu mengusap-usap bibimya. Dia terkejut dan memutar kepalanya mendengar langkah-langkah kaki di belakangnya. Yang datang temyata isterinya sendiri. Badan perempuan ini sudah jauh susut, lebih kurus dari dahulu. Seperti suaminya, parasnya juga pucat. Warih Sinten seorang perempuan berwajah ayu, namun keayuan itu kini tiada kelihatan lagi karena tertutup mendung kegelisahan. Gelisah memikirkan nasib anaknya, gelisah memikirkan nasib suaminya jika sebentar lagi pen.duduk benar-benar datang.
Hari itu adalah hari pemungutan pajak yang ketiga. Semestinya pembantu Lurah Bojongnipah yang biasa berkeliling di seluruh desa memungut pajak itu sudah datang. Tapi kali ini tak kelihatan mata hidungnya. Bagaimana dia akan berani memunculkan diri jika sudah tahu kalau hari ini penduduk akan berontak!.
“Mudah-mudahan saja penduduk tidak datang…”
Ki Lurah Kundrawana menggigit bibirnya. Dia tahu bicara isterinya itu hanya sekedar bicara saja. Memang apa yang diharapkan isterinya itu juga menjadi harapannya. Namun dia tahu betul bahwa harapan itu adalah satu hal yang mustahil! Rakyat akan datang. Penduduk akan datang! Dia tahu, dia pasti!
Warih Sinten memandang lagi ke luar halaman. Lalu berkata lagi: “Kalaupun mereka datang, kurasa kita tak bisa lagi menyembunyikan kebejatan ketiga manusia terkutuk itu, Kakang! Kita musti katakan terus terang pada penduduk sebelum penduduk membunuh kita beramai-ramai!”
“Nyawaku tak ada harganya, Warih…,” ujar Ki Lurah Kundrawana. “Demi segala-galanya aku rela mati! Tapi percuma saja arti kematian jtu, kalau keselamatan jiwa anak tunggal kita sendiri akan tersia-sia pula….”
Kesepian berjalan beberapa lamanya.
Tiba-tiba.
“Kakang…”. Warih Sinten memegang lehernya dengan kedua tangan. “Mereka… mereka datang…”
Ki Lurah Kundrawana mengangkat kepalanya dan memandang ke luar halaman. Apa yang dikatakan isterinya memang betul. Serombongan laki-laki penduduk, desa kelihatan rnuncul di tikungan jalan dibalik pohon-pohon bambu. Rombongan yang muncul ini merupakan kepala saja dari barisan penduduk yang jumlahnya tak kurang dari seratus orang. Dari jauh tak kelihatan mereka membawa senjata. Tapi Ki Lurah Kundrawana tahu bahwa di antara mereka pasti, ada yang membawa dan menyembunyikan senjata!
Sesaat kemudian halaman luas itupun penuhlah oleh penduduk desa. Suasana menjadi bising kini. Ki Lurah Kundrawana dan isteranya berdiri mematung di atas langkan. Hanya kedua bola mata mereka yang berputar memandangi penduduk Bojongnipah itu.
Seorang di antara penduduk kemudian menyeruak ke muka dan naik ke langkan, berdiri beberapa langkah dihadapan Kundrawana. Kundrawana kenal baik dengan laki-laki ini. Dia adalah seorang petani yang diam di desa sebelah timur. Namanya Kratomlinggo.
Sewaktu laki-laki ini bertindak naik ke langkan, maka suasana di tempat itu sehening di pekuburan.
“Ki Lurah…, Kratomlinggo buka mulut merobek keheningan itu. “Kau tentu sudah tahu maksud kedatangan kami bukan…?”
Kundrawana tak menjawab. Pada wajah Kratomlinggo dilihatnya senyum mengejek. “Ketahuilah bahwa aku berdiri dihadapanmu saat ini adalah, sebagai wakil dari sekian banyak penduduk Bojongnipah…,” Kratomlinggo menunding ke belakang lalu meneruskan:
“penduduk Bojongnipah yang sejak satu bulan belakangan ini telah menjadi korban pemerasan, korban penindasan, korban pengisapan, dkekik oleh pajak sebelas kali lipat! Penduduk Bojongnipah…”
“Saudara Kratomlinggo,” memotong Ki Lurah Kundrawana. “Ringkaskan saja bicaramu. Katakanlah apa yang kalian mau”. Dan lagi-lagi Kundrawana melihat senyum mengejek tersungging di mulut Kratomlinggo.
“Apa mau kami…? Itu semua sudah kami katakan pada saat pertama kali kau memungut pajak gila itu!”
“Aku pribadi memang tak ingin berbuat begitu. Tapi ini adalah perintah atasan.
Perintah Raja, untuk pembangunan dan pemeliharaan pasukan…”
“Perintah atasan tinggal perintah atasan! Apakah kalau atasan menyuruh kau cebur ke sumur lantas kau akan berbuat begitu? Nyemplung ke sumur?! Setiap perintah harus berdasarkan pertimbangan otak Ki Lurah!”
Merah muka Kundrawana.
Sementara itu Warih Sinten mulai menangis terisak-isak.
“Saudara Krato, mungkin pemungutan pajak itu hanya bersifat sementara saja…”
“Ya sementara! Sementara! Baru dihentikan bila semua penduduk Bojongnipah ini mati dkekik pajak ?” .
“Aku tahu pajak sebesar itu memang berat…”
“Kalau berat mengapa dilaksanakan?!” tukas Kratomlinggo.
Ki Lurah Kundrawana lagi-lagi menggigit bibirnya. lngin saja saat itu dia mengatakan apa sesungguhnya yang menjadi latar belakang dari pemungutan pajak itu. Ingin saja saat itu dia menerangkan siapa sebenarnya yang menjadi dalang pemungutan pajak gila itu! Tapi bila diingatnya anak tunggalnya yang ada di tangan Tiga Hitam dari
Kali Comel itu.
“Kami penduduk desa Bojongnipah ingin agar peraturan pajak gila itu dkabut kembali!” berkata Kratomlinggo.
“Aku tak punya wewenang untuk melakukan hal itu, saudara Kramto”.
“Kau bisa menyampaikan kepada Adipati di Linggajati. Adipati meneruskannya ke Kotaraja. Dan kalau kau tidak mau melakukan hal itu, kami tidak ragu-ragu untuk bertindak berdasarkan apa yang kami rasa benar…!”
“Apakah ini suatu ancaman?”
“Kau boleh bilang begitu., Ki Lurah!”
“Saudara Kramto…,” terdengar suarar Warih Sinten. “Kau… kau dan semua penduduk Bojongnipah tidak tahu… tidak tahu…”
“Kami lebih dari tahu!” geretus Kratomlinggo. “Meskipun apa yang kini kami ketahui itu adalah hal yang tak pernah kami duga! Kami tahu bahwa suamimu, Ki Lurah Kundrawana tak lebih dari seorang tukang peras! Yang menjilat ke atas dan menggilas ke bawah! Yang cari nama ke atas dan menjerat leher penduduk di bawah! Kami lebih dari ta….”
“Kuharap bicara sepantasnyalah Kratomlinggo” memotong Ki Lurah Kundrawana karena panas hati dan telinganya mendengar dkap sebagai penjilat dan pemeras demikian rupa. Kratomlinggo berpaling ke arah orang banyak. Kemudian dia tertawa bergelak. Sementara itu salah seorang pendduk berteriak: “Buat apa bicara sepanjang lebar dengan biang lintah darat itu?! Sumpal saja mulutnya dengan golok !”
Kratomlinggo berpaling pada Kundrawana kembali. “Kau dengar teriakan itu Ki Lurah?” tanyanya.
Mulut Kundrawana komat kamit. “Kalau kalian ingin pajak itu dkabut, silahkan. pergi sendiri menghadap Raja di Kotaraja…”
“Lantas, apa perlunya kau jadi Lurah di sini’?!” teriak seorang penduduk pula.
“Apa hanya untuk ongkang-ongkang ?!” teriak penduduk yang lain.
“Ongkang-ongkang dan memeras?!” teriak yang lain lagi.
“Kemudian penduduk lainnya berteriak pula: “Kami tidak percaya ini aturan dari Raja!
Bukan mustahil pajak itu adalah aturan gila yang, kau buat sendiri !” .
Masih banyak lagi teriakan-teriakan yang membuat muka Kundrawana menjadi merah dan tebal rasanya: Telinganya berdesing. “Kratomlinggo, kuharap kau bawalah orang-orang itu meninggalkan tempat ini,” kata Kundrawana.
“Begitu …?,” ujar Kratomlinggo dengan lontarkan senyum sinis. “Kami semua baru akan pergi sesudah kau menyatakan blak-b!akan bahwa mulai saat ini aturan pajak gila itu dkabut!”
“Tak satupun yang bisa mencabut segala keputusan Raja!,” jawab Kundrawana. Suaranya saja yang keras namun ucapannya itu sama sekali tiada dengan kesungguhan hati.
“Kalau begitu agaknya kami terpaksa menggunakan kekerasan…”
“Kau menentang Kerajaan, Kratomlinggo?” tanya Ki Lurah Kundrawana. Pertanyaan yang setengah menggertak ini dimaksudkannya untuk dapat ke luar dari keadaan yang terdesak saat itu.
Namun jawaban Kratomlinggo adalah lontaran seringai mengejek. “Jangan takuti penduduk Bojongnipah dengan kata-kata Kerajaan, Ki Lurah! Kami semua yakin bahwa pajak gila itu adalah kau punya bisa! Kerajaan selama ini selalu bertindak adil dan bijaksana…!”
Kratomlinggo melangkah kehadapan Ki Lurah Kundrawana dengan kedua tinju terkepal. Beberapa penduduk Bojongnipah melangkah pula naik ke atas langkan.
Ki Lurah Kundrawana mundur beberapa langkah ke belakang. Warih Sinten menjerit.
“Kratomlinggo, kau… kalian mau bikin apa…?”
“Kami coba minta keadilan dengan cara wajar, tapi kau maukan kekerasan…!” jawab Kratomlinggo. Tangan kanannya bergerak.
Tiba-tiba terdengar ringkikan kuda dan suara hiruk pikuk. Penduduk di halaman muka berhamburan.cerai berai.
“Atas nama Kerajaan, yang tidak mau mati, minggirlah !”
Terdengar jeritan beberapa orang yang terserampang kuda !
* * *
TIGA penunggang kuda melompat dari punggung kuda masing-masing. Gerakan mereka enteng sekali dan sekejapan mata saja ketiganya sudah berada antara Kratomlinggo dan Ki Lurah Kundrawana. Ketiganya berpakaian seragam prajurit dan tampang-tampang mereka angker buruk.
Baik Ki Lurah Kundrawana maupun Kratomlinggo dan penduduk Bojongnipah, semuanya sama terkejut. Dalam keterkejutannya itu Ki Lurah Kundrawana merasa lega juga karena dia segera mengenali ketiga orang itu tak lain adalah Tapak Luwinng dan dua orang anak buahnya! Namun apa yang tidak dimengerti oleh Lurah Bojongnipah itu ialah mengapa ketiga orang komplotan rampok itu mengenakan pakaian keprajuritan.
Sementara itu Tapak Luwing yang berdiri tepat dihadapan Kratomlinggo dengan bertolak pinggang dan membentak maju ke muka: “Kami prajurit-prajurit Kadipaten Linggajati! Kamu jadi biang keribuan di sini ya?!”
Terkejutlah Kratomlinggo dan penduduk Bojongnipah sedang Ki Lurah Kundrawana dan isterinya merutuk dalam hati melihat betapa lihaynya Kompolotan Tiga Hitam itu menjalankan peran sebagai prajurit-prajurit Kadipaten palsu untuk mengelabui mata penduduk dan juga menyembunyikan rahasia besar latar belakang pemerasan mereka! Kratomlinggo menindih rasa terkejutnya. Dia merasa tak perlu takut terhadap ketiga prajurit Kadipaten itu bahwa bukankah ini kesempatan di mana dia bisa sekaligus menerangkan pemerasan pajak yang dilakukan oleh Kundrawana itu?
“Saudara,” kata Kratomlinggo, “jika kalian adalah prajurit-prajurit Kadipaten, kebetulan sekali kalau begitu…!
“Kebetulan apa maksudmu?!” bentak Tapak Luwing.
Kratomlinggo kemudian menerangkan sejelas-jelasnya mengenai soal pajak itu kepada Tapak Luwing. Namun dia begitu kaget ketika mendengar jawaban Tapak Luwing.
“Jadi kau sengaja pimpin penduduk Bojongnipah untuk mengikuti maumu sendiri?! Untuk menempuh jalan kekerasan! Ini namanya, satu pemberontakan! Ini namanya satu penantangan terhadap Kerajaan, satu pembangkangan terhadap peraturan-perraturan Raja karena soal pajak itu memang datang dari Raja disampaikan melalui Adipati di Linggajati!”
“Tapi mengapa hanya penduduk Bojongnipah saja yang dipajaki segila ini!,” kata salah seorang penduduk yang berdiri di samping Kratomlinggo: “Ya, desa-desa lain tidak!” seru yang lain dari luar halaman.
“Kamu semua tahu apa!” *************************************************************** Tapak Luwing. “Ini adalah keputusan Raja! Bojongnipah yang subur tak bisa disamakan dengan desa-desa lain. Karenanya sudah pantas kalau dibebani pajak yang agak besaran…”
“Agak besaran…,” gerendeng seorang penduduk mengejek.
Kratomlinggo kemudian mengetengahi suasana panas itu. “Kami merasa sama sekali tidak menentang Raja, sama sekali tidak membangkang apalagi memberontak. Kami hanya inginkan agar pajak dikembalikan sebesar yang lama…”
“Tapak Luwing meludah ke lantai langkan. “Kau memang biang racun pemberontak yang pintar omong! Terhadap Lurah kalian, kalian boleh bicara kasar dan seenaknya, tapi terhadap kami prajurit-prajurit Kadipaten jangan coba-coba! Pimpin seluruh penduduk untuk angkat kaki dari sini ! Cepat!”
Maka berkatalah Kratomlinggo: “Kami penduduk Bojongnipah datang ke sini untuk menegakkan keadilan. Kalau kami harus angkat kaki dari sini maka keadilan itu musti sudah berhasil ditegakkan!”
“Hem… begitu…?”. Tapak Luwing menyeringai. Gigi-giginya yang hitam kecoklatan serta besar-besar ketihatan menjijikkan. “Sebelum kau dan yang lain-lainnya menegakkan keadilan itu, coba terima tangan kananku ini !”
Sesudah berkata demikian Tapak Luwing hantamkan tangan kanannya ke dada
Kratomlinggo. Yang dipukul dengan cepat melompat ke samping. Namun ! “Buukk !” Tangan kiri Tapak Luwing bersarang di perut Kratomlinggo. Nyatanya pukulan tangan kanan Tapak Luwing tadi hanyalah satu tipuan belaka! Kratomtinggo melintir dan terjajar ke belakang. Perutnya sakit- sekali, mual seperti mau muntah, nafasnya menyesak.
Laki-laki ini rupanya bukanlah hanya sekedar seorang petani saja, namun juga seorang yang pernah mempelajari ilmu silat. Dengan cepat dia atur nafas dan jalan darah. Lalu dengan sebat rnenyerang ke muka. Enam orang penduduk ikut menyertai serangannya inir Maka dengan demikian pertempuranpun pecahlah.
Empat penduduk terjerongkang ke lantai langkan. Dua pingsan, dua lagi patah tulang iganya serta terlepas sambungan sikunya. Sedang Kratomlinggo terhempas ke tiang langkan. Dadanya kena dipukul oleh Tapak Luwing. Dia berusaha berdiri mengimbangi badan kembali dan siap melancarkan serangan balasan. Tapi apa lacur, belum lagi kakinya menindak pemandangannya sudah gelap dan dari mulutnya bermuntahan darah kental berbuku-buku! Sesaat kemudian tubuh laki-laki ini tergelimpang ke lantai!
Melihat ini sebagian penduduk menjadi kalap. Mereka menyerbu berserabutan ke atas langkan dengan berbagai macam senjata.
“Siapa yang mau mampus, majulah!” teriak Tapak Luwing seraya melintangkan golok.
Mereka yang menyerbu menjadi ragu-ragu kini namun beberapa orang diantaranya yang tetap kalap menyerang dengan membabi buta. Maka terjadilah hal yang mengerikan. Orang-orang ini bergelimpangan bermandikan darah, dibabat dan dipapas oleh senjata Tapak Luwing dan anak-anak buahnya! Yang lain-lainnya kini tak berani lagi bertindak lebih jauh meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak!
Warih Sinten sudah sejak lama lari ke dalam rumah sambil menjerit-jerit ketakutan sedang Kundrawana menggigit bibir dan pejamkan mata melihal kengerian itu. Kalau saja tidak ingat akan keselamatan anaknya, sudah sejak tadi dia mencabut keris dan turut menyerbu!
“Siapa lagi yang mau berkenalan dengan golokku, silahkan maju!,” kata Tapak Luwing tolakkan tangan kirinya ke pinggang kiri. Tapak Luwing tertawa. “Nah, kalau kalian masih belum punya nyali untuk masuk ke liang kubur, gotong kunyuk-kunyuk yang malang melintang di langkan rumah ini kemudian angkat kaki dari sini cepat !”
Kemarahan penduduk meluap-luap. Namun apa yang terjadi di depan mata mereka membuat nyali mereka menjadi ciut dan bulu kuduk meremang. Ki Lurah Kundrawana sendiri berdiri mematung. Rahangnya terkatup rapat-rapat. Kegeramannya tiada terlukiskan. Kebenciannya terhadap Tiga Hitam dari Kali Comel tiada terkirakan lagi! Namun seperti penduduk Bojongnipah, dia juga tak dapat berbuat suatu apa!
Penduduk menggotong Kratomlinggo dan korban-koban lainnya. Sebelum mereka berlalu berserulah Tapak Luwing.
“Aku tak ingin melihat keonaran macam begini untuk kedua kalinya, kecuali kalau kalian sendiri yang sengaja minta dibereskan macam kawan-kawan kalian itu! Siapa yang mau berontak boleh saja! Golakku memang sudah sejak lama haus darah!”
Tak ada yang menyahuti ucapan Tapak Luwing itu. Dan Tapak Luwing yang menyamar sebagai prajurit Kadipaten itu berseru lagi: “Jangan lupa, paling lambat tengah hari besok, kalian semua sudah harus melunasi pajak itu! Jika ada yang membantah untuk membayarnya, kalian cukup tahu apa akibatnya!”
Ketika seluruh penduduk Bojongnipah sudah meninggalkan tempat itu maka Tapak Luwing menyarungkan goloknya kembali dan berpaling pada Ki Lurah Kundrawana.
“Kau harus berterima kasih padaku yang telah selamatkan kau punya batang leher, Ki Lurah…!” Ki Lurah Kundrawana berkemik. Rahang-rahangnya bertonjolan. Tapak Luwing tertawa mengekeh. “Selambat-lambatnya senja besok uang pungutan pajak harus sudah kau antarkan ke pondok tua dipersimpangan jalan yang menuju ke Linggajati!”
Kundrawana masih diam.
“Eh, apa kau sudah tuli!” tanya Tapak Luwing.
Dan Lurah Bojongnipah itu masih juga diam. Maka membentaklah Tapak Luwing. “Kamu tuli hah?!”
“Aku tidak tuli, Tapak Luwing…”
“Lalu mengapa ditanya diam saja? Mungkin gagu?!”
Dua orang anak buah Tapak Luwing cengar cengir.
“Sesenja-senjanya hari uang itu sudah harus ku terima. Kau dengar…?!” .
“Bagaimana kalau penduduk tak mau membayamya ?”
“Aku tak perlu pertanyaan itu! Bayar atau tidak bayar, pokoknya besok aku cuma tahu terima uang!”
Tapak Luwing memberi isyarat pada kedua anak buahnya. Ketiganya menuruni langkan rumah dan melangkah menuju ke kuda masing-masing.
Malam itu, dengan segala daya dan sedikit ilmu pengetahuan yang dimilikinya, Kratomlinggo berhasil menyembuhkan luka di dalam yang dideritanya akibat pukulan Tapak Luwing. Pada dasarnya bukan daya dan pengetahuan silat Kratomlinggolah yang menolong melainkan adalah karena pukulan Tapak Luwing pagi tadi tidak mempergunakan keseluruhan tenaga dalamnya.
Dendam terhadap Tapak Luwing dan kawan-kawannya, kebencian yang tak terkendalikan terhadap Ki Lurah Kundrawana serta pajak yang tetap harus dibayar esok hari, semuanya itu bertumpuk menjadi satu sehingga malam itu, rneskipun baru saja sembuh dari luka namun tekat Kratomlinggo sudah bulat untuk berangkat ke Kotaraja! Niatnya ini diberitahukannya pada beberapa kawannya. Dan malam itu bersama empat orang lainnya, dengan menunggangi kuda maka berangkatlah Kratomlinggo ke Kotaraja.
Malam gelap. Sinar bintang dan cahaya bulan sabit tak dapat mengalahkan kegelapan itu. Kratomlinggo dan empat orang kawannya memacu kuda masing-masing, melewati sebuah tikungan dan sampai di sebuah jembatan yang menghubungkan kedua tepi sebuah anak sungai. Pada saat itu pulalah Kratomlinggo dan kawan-kawannya melihat serombangan penunggang kuda di seberang jembatan. Mereka berjumlah tiga orang dan ketiganya menghentikan kuda di seberang jembatan itu. Melihat gelagat yang tidak baik ini. Kratomlinggo segera hentikan kudanya.di tengah-tengah jembatan dan memberi isyarat pada keempat kawannya. Malam memang gelap namun mata Kratomlinggo masih sanggup, mengenali penunggang kuda yang paling depan dihadapannya. Manusia itu ternyata adalah prajurit Kadipaten yang siang tadi menanganinya!.
“Celaka,” bisik Kratomlinggo. “Bagaimana bangsat-bangsat Kadipaten ini bisa tahu keberangkatanku ke Kotaraja?!” Sampai saat itu baik dia mau pun kawan-kawannya sama sekali masih tidak mengetahui siapa ketiga manusia yang menghadang di ujung jembatan itu!
Penunggang kuda sebelah muka yang tiada lain dari Tapak Luwing adanya tertawa mengekeh. “Rupanya pelajaran dan peringatanku siang tadi masih belum cukup huh!,” sentak Tapak Luwing. Kratomlinggo -tak menjawab. Namun dia diam tangan kanannya menyelinap ke balik pinggang meraba hulu golok. Hal yang sama dilakukan juga oleh keempat kawannya. Dan di seberang jembatan kembali terdengar kekehan Tapak Luwing. Begitu kekehannya berhenti maka terdengar bentakannya. “Kalian kunyuk-kunyuk mau ke mana?!”
“Kami tak ada permusuhan dengan kalian. Karena itu minggirlah, beri jalan…” kata Kratomlinggo pula.
“Minta jalan? Boleh… lewatlah!,” kata Tapak Luwing pula sambil pinggirkan kudanya.
Dipersilahkan begitu rupa malah membuat Kratomlinggo dan kawan-kawannya menjadi terpatung, tak bergerak di punggung kuda masing-masing. “Ayo, kenapa tidak mau lewat?!,” tanya Tapak Luwing.
Kratomlinggo bimbang.
Dan Tapak Luwing buka suara lagi: “Kalau begttu roh busuk kalian yang akan lewat jembatan ini !”
“Sret !”
Tapak Luwing cabut goloknya. Terdengar lagi dua kali suara “sret” yaitu dari golok-golok yang dkabut oleh anak buah Tapak Luwing. Melihat ini Kratomlinggo dan kawan-kawannya segera pula menghunus golok masing-masing !
“Aku tahu kalian hendak ke Kotaraja…,” berkata Tapak Luwing seraya larik tali kudanya,
“Tapi ketahuilah hanya roh-roh busuk kalian yang akan menghadap Raja di istana!”
Dalam jarak dua tombak, dengan satu sentakan keras maka kuda Tapak Luwing melompat ke muka. Dua anak buahnya menyusul. Tiga golok berkelebat di bawah cahaya redup bulan sabit. Lima golok menyambutinya !
“Trang ….. trang ….. trang….!”
Bunga api memercik. Suara beradunya golok-golok itu disusul oleh seruan kesakitan. Dua kawan Kratomlinggo rebah dari atas punggung kuda. Yang satu terbabat perutnya, yang lain punting lengan kanannya!
Dalam gebrakan kedua, Tiga Hitam dari Kali Comel yang saat itu masih mengenai pakaian, prajurit-prajurit Kadipaten, kembali mengirimkan serangan hebat tanpa memberikan kesempatan pada lawan! Dua orang lagi menjerit dan roboh, tubuh salah satu dari padanya kemudian kecebur ke dalam sungai. Kratomlinggo sendiri dibikin terjerongkang dari atas punggung kuda, goloknya lepas. Masih untung sampai saat itu dia belum cidera apa-apa. Dan memaklumi bahwa untuk melawan terus adalah satu kesia-siaan maka laki-laki ini segara putar tubuh ambil langkah seribu!
Tapak Luwing tertawa bergelak. “Dasar manusia kintel! Kamu mau lari ke mana?!” Dari balik sabuknya kepala Komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel ini keluarkan sebilah pisau belati.
Senjata ini melesat dengan mengeluarkan suara berdesing! Kratomlinggo yang tak tahu dirinya tengah dikejar maut, terus juga lari.
Hanya satu jengkal saja lagi belati yang mengandung racun itu akan menancap di punggungnya maka pada saat itu pulalah dari jurusan semak belukar gelap di tepi sungai melesat sebuah benda berbentuk bintang berwarna putih perak!
“Tring !”
Bunga api memercik.
Bukan saja benda berbentuk bintang ini berhasil membuat pisau beracun Tapak Luwing mental, tapi juga membuat pisau itu patah dua !
Terkejutlah Tapak Luwing. Lupa dia pada niatnya hendak membunuh Kratomlinggo. Dengan serta merta diputarnya tubuhnya. Matanya yang tajam telah melihat dari arah mana datangnya sambaran benda putih perak berbentuk bintang itu. Dan memakilah kepala Komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel itu.
“Setan alas yang ikut campur urusan orang ke luar dari persembunyianmu dan terima pisau-pisauku ini !”
Habis bilang demikian Tapak Luwing lemparkan sekaligus tiga bilah pisau beracunnya ke arah semak belukar di kegelapan.
Terdengar suara siulan yang disusul oleh suara tertawa bergelak. “Aku di sini bung! Kenapa serang tempat kosong?!,” kata, manusia yang munculkan diri itu dengan nada mengejek.
“Bangsat betul!,” maki Tapak Luwing. Di lemparkannya lagi dengan tangan kiri sepasang pisau belati ke arah laki-laki yang berdiri sekira enam tombak di tepi sungai.
***