CHAPTER 2
Senin pagi , waktu dimana saat sebagian orang mungkin enggan untuk bangkit meninggalkan kenyamanan akhir pekan , justru aku dan orang tuaku berada dalam kondisi semangat untuk mengawali awal dari sebuah minggu.
Aku dan ibuku kini mulai berdagang nasi uduk kecil kecilan di pinggir jalan , berharap para pekerja yang masih terbuai angin akhir pekan enggan menyiapkan konsumsi pagi untuk mereka dan lebih memilih cara instan dengan membeli masakan yang aku jajakan bersama ibuku ini.
Walaupun kutau jauh dari kata banyak, tapi aku bersyukur atas setiap rupiah yang mampu kudapatkan dari rutinitas baruku saat ini.
Mataharipun kian meninggi ,menandakan waktu berdagangku telah usai . Memang aku hanya diizinkan memakai tempatku berdagang hanya sampai di waktu siang ,selebihnya akan digunakan oleh orang yang mungkin sepertiku,mencari sesuap nasi untuk kelangsungan keluarga kecil mereka.
*drrrrt,drrrt* handphone jadul ibuku yang penuh retakan sana sini kian bergetar dari balik laci tempat ku menyimpan uang bergetar sewaktu aku dengan sigap membereskan sisa daganganku
"De, itu ada yang telpon, tolong liat siapa yang telpon itu" kata ibuku
" iya bu" , dengan singkat kujawab
Tapi alangkah kagetnya aku ketika nama "Pak wildy" muncul di layar handphone ibuku
Sekedar info , Pak wildy adalah orang yang waktu itu meminjamkan sejumlah uang guna memperpanjang umur apotikku dulu.
"pak wildy bu" ,jawabku pelan.
"Sini biar ibu yang ngomong" sambil meminta handphone dari tanganku. Akupun menyerahkan handpone kepada ibuku.
Ibuku lantas mengambil handphone dan langsung berbalik badan . Bisa kutebak isi pembicaraan mereka dengan melihat sekilas perubahan raut wajah ibuku ,di ikuti sesekali anggukan kepala ibuku, seperti gestur orang yang menunduk meminta maaf. Beberapa saat berselang , ibu kembali menghampiriku , menyerahkan beberapa lembar uang dengan mayoritas berwarna merah dan secarik kertas lusuh yang aku sudah hapal betul apa isinya , "resep obat" untuk ayah.
"De, ini kamu ke apotik dulu beli obat buat ayah" katanya seraya melanjutkan membereskan daganganku yang memang tinggal sedikit lagi siap untuk kami bawa pulang kembali.
Beberapa detik aku terdiam, karena memang biasanya aku ke apotik di waktu sore , karena lebih dekat jaraknya dari rumahku ketimbang dari lapak tempat kami berdagang .
Tapi yasudahlah pikirku , tanpa menunggu instruksi lebih lanjut ,akupun mulai berjalan ke arah apotik tempatku biasa membeli obat untuk ayahku yang kurang lebih berjarak hampir 3 kilometer dengan berjalan kaki.
Kurang lebih 1 setengah jam aku sudah sampai dirumah dengan plastik bening kecil berisi obat di saku jaketku.
Kubuka pintu usang pagar rumahku , seraya mengucapkan salam . Namun ada hal yang tidak biasa waktu aku tiba dirumah . Kulihat ayah dan ibuku diruang tamu dengan raut muka tegang ,saling bertatap ,namun diam. Kuyakin mereka tengah dalam sebuah perbincangan yang terhenti karena kehadiranku yang tiba tiba.
Sedikit gambaran rumahku.
Rumah sederhana berukuran kurang lebih luasnya 70 meter melebar ,dengan 2 kamar tidur, ruang tamu dan dapur yang bercampur dengan kamar mandi, disertai kebun kecil didepan rumah dan pagar besi usang tepat berhadapan dengan pintu masuk rumah. Disertai jendela disamping pintu masuk rumah yang bisa melihat jelas kedalam ruang tamu jika gordennya dibuka.
Bisa kutebak dengan jelas, apapun pembicaraan mereka yang terhenti dikarenakan ibuku yang duduk tepat di belakang pintu rumah dengan bangku plastik kecil ,melihatku sudah pulang.
Aku yang peka terhadap situasi ini tanpa banyak bertanya langsung masuk dan lupa mencium tangan kedua orangtuaku ,menyerahkan obat , dan langsung masuk kekamarku dengan alibi aku terlalu lelah hari ini karena berjalan cukup jauh. Kuyakin ibuku tau aku menghindari apapun yang sedang mereka bicarakan.
Tak berselang beberapa lama , kudengar pintu kayu kamarku diketuk diikuti suara sayu ibuku memanggilku.
"De, sini kedepan sebentar" , terdengar suara ibuku dibalik pintu itu . Tanpa bicara ,aku langsung keluar kamar dan bergabung dengan orang tuaku di ruang tamu. Diruang tamu, mataku tertuju bukan pada kedua orang tuaku, melainkan pada sebuah map usang berwarna agak coklat dengan imbuhan kata "SERTIPIKAT" pada bagian atas map itu.
DEGG, seketika jantungku terpacu , "ada apa ini" pikirku dengan tatapan tetap tertuju pada map yang ada didepanku.
Baru aku ingin bertanya apa maksud dari kehadiran map ini , seakan mengerti raut wajah bingung yang terpancar jelas pada wajahku ,ibuku berkata "De, kamu tolong nanti sore kerumah pak wildy ya, bawa sertipikat rumah ini,serahkan ke dia" . Aku diam ,berusaha mencerna arti kata demi kata yang terucap dari ibuku.
Dengan nada parau , kuberanikan bertanya "Ini maksudnya apa bu, mau diapain suratnya? ". Ibuku diam sebentar ,lalu menjawab "udah de bawa.." , belum selesai kalimat ibuku , ayahku menyambar dengan nada berat khas pria umur 50 an " itu kita titip ke pak wildy dulu , sebagai jaminan hutang kita".
Jujur aku kaget bukan main , karena dengan kondisi keluargaku saat ini, mungkin hanya ini satu satunya aset yang tersisa yang kami punya . Aku diam, lalu berdiri dan langsung melangkah menuju kamar tanpa ada sepatah katapun yang keluar. Seluruh tenaga yang kupunya saat itu mungkin kugunakan untuk berkoordinasi kepada kedua mataku, menyuruhnya untuk sebisa mungkin tidak mengeluarkan air mata.
Kututup pintu kamar dengan agak tergesa , merelakan tubuhku jatuh bebas dikasur dan meraih bantal guna menutupi kepalaku , aku menangis sejadi jadinya . Otak dan logika ku seketika menyalahkanku kembali atas kegagalan masa lalu yang berimbas pada kondisi ini.
Cukup lama aku menangis ,tanpa suara, dengan tetap di posisi bantal yang ada di kepalaku. Logika dan hatiku berseteru untuk langkah yang akan kuambil kelak , membayangkan jika aku , anak satu satunya yang seharusnya menjadi harapan mereka , justru malah memperkeruh kehidupan mereka,bukan sebaliknya.
Setelah kupikir cukup dengan tangisanku dan sadar betul bahwa tangisan tidak akan merubah situasi saat ini ,terlebih senja sudah mulai datang menampakkan indahnya . Akupun keluar kamar setelah memakai jaket dan berjalan keruang tamu ,dimana orang tuaku ternyata tetap ada disana selama aku menangis dikamar .
Dengan mata sembab yang takkan mungkin bisa kututupi , aku berkata pada ibuku ."Bu, dede jalan ke rumah pak wildy ya, tara yakin ibu dan ayah udah pikirin ini matang matang"
Ibuku diam dan hanya mengangguk ,bukan karena marah ,tapi mungkin melakukan hal yang sama denganku tadi , "menahan agar air mata tidak hadir dan meluncur dari kedua matanya"
Aku pun keluar rumah ,menuju kedepan jalan raya ketempat dimana pangkalan ojek berada, untuk menggunakan jasa mereka mengantarku kerumah pak wildy.
Jarak rumahku dengan rumah pak wildy cukup jauh karena memang rumah pak wildy berada di wilayah barat ujung ibukota, memakan waktu sekitar 2 jam dengan menembus hiruk pikuk jalanan ibukota .
Sampailah aku dirumah pak wildy , rumah yang kubilang cukup megah untuk ukuranku .
Kubunyikan bel rumah pak wildy, dan beberapa lama berselang pintu terbuka diikuti dengan pak wildy yang dengan sopan mempersilahkanku untuk masuk.
Pak wildy ini pria paruh baya dengan umur yang hampir sama dengan ayahku, bedanya , ia tinggal sendiri tanpa pendamping yang telah meninggalkan nya dulu.
Setelah masuk , aku dipersilahkan duduk di ruang tamu . Duduk berhadapan dengan pak wildy di sebuah sofa yang kuyakin bukan barang yang bisa disebut murah pada posisiku saat itu.
Setelah berbasa basi seperti bertanya kabar orang tuaku yang kuyakin ia sudah tau persis bagaimana kondisi orang tuaku, dia mulai bertanya maksud tujuan ku datang ke tempatnya.
"Pak , ini aku kesini disuruh bawa ini sama ibu, katanya buat dititip ke bapak sementara" seraya kuletakkan map berisi sertifikat rumah ku di meja.
Pak wildy diam selama beberapa saat. Lalu mulai berbicara dengan nada berat "harus begini yaa caranya, saya sebenarnya berat loh dengan cara ini" , akupun diam ,takut salah salah bicara malah memperkeruh keadaan. Jawaban sekenanya pun meluncur dari lisanku " Aku engga tau pak,cuma disuruh ibu".
Satu hal yang membuatku heran kala itu , map yang kubawa dari rumah ,tidak disentuh sedikitpun , malah pak wildy menatapku dengan tatapan aneh yang membuatku sangat tidak nyaman.
Dengan tatapan menerawang , beliau bertanya padaku, tentang cara lain yang bisa kulakukan tanpa harus menjaminkan rumahku. Aku yang saat itu kalut, kesal,sedih , hanya mampu meminta maaf dan berjanji akan sebisa mungkin melunasi hutangku dulu dengan cara mencicil.
Namun bukan jawaban yang kudapat , melainkan tatapan sinis yang menyiratkan ketidaksetujuan terpampang jelas di raut wajah pak wildy.
"Gini deh tara, kamu mau ga kerja sama aku, kebetulan aku butuh asisten buat bantu ngatur jadwal dan ngolah usaha aku?"
Mendengar jawaban itu, logikaku ikut terpacu , yang kupikir mungkin bisa jadi jalan keluar untuk masalah finansial keluargaku juga . Karena jujur aku merasa kasihan jikalau ibuku terus terusan bangun sebelum subuh untuk mempersiapkan dagangan setiap hari.
"Mau pak, tara mau.apa aja syaratnya dan kerjaannya?" Jawabku cepat.
"Bapak lagi cari asisten buat bantu semua kerjaan bapak ,karen asisten bapak yang kemarin itu udah resign, kalo kamu bisa ,bapak bisa potong masalah utang ini perbulan dan kamu juga bapak gaji, tapi kamu juga bantu bapak dirumah bisa ? " katanya menjelaskan.
"Bisa pak!" Tanpa pikir panjang aku mengiyakan , karena pikirku, kapan lagi bisa dapat kerjaan tanpa interview dan segala proses tahapan rekrutmen yang menurutku cukup sulit.
"Kerjaannya sebenarnya ga sulit ,cuma administrasi dasar , tapi aku juga butuh asisten pribadi dirumah buat pribadi aku juga" katanya menjelaskan dengan seksama
"Aku bisa pak" jawabku asal
"Maksud bapak asisten pribadi itu maksudnya buat menyenangkan bapak disini dalam tanda kutip"
DEGGGGG
Seketika aku tertegun diam , badanku gemetar seada adanya ketika aku paham apa kata " PRIBADI" yang beliau maksud.
To Be Continue