Part 11
Project BDSM
"Masya Allah... varokah amat kencan antum pada...." Rosyid cuma geleng-geleng kepala ngelihat Dimi dan Zenith cekikikan berdua di ruang tamu kost-kostannya yang bekas bangunan Belanda. Pemuda berambut kribo itu mengulurkan bungkusan berisi es teh dan kuku bima susu pesanan dua sejoli yang lagi asyik diskusi buku-buku yang dibeli Zenith di pasar kaget barusan.
Dua orang ini benernya cocok, batin Rosyid. Nyokap Dimi yang warga
Nahdliyin membuat pikirannya lebih moderat terhadap buku-buku Sufi yang dibilang
bid'ah sama bokapnya yang Wahabi. Sebaliknya Zenith yang sudah dicuci otak sama Karl Marx berasanya nemuin hidayah dalam sosok mungil berjilbab itu. Dan yang pasti dua orang ini berada pada level intelegensia yang sama dibandingkan Monik yang model-model cewek barbie, buktinya? Dimi asyik-asyik aja tuh diajakin ngomongin yang berat-berat!
Rosyid duduk di kursi rotan tak jauh dari mereka, makan gorengan sambil jadi hansip biar setan nggak jadi orang ketiga. Tapi melihat kemesraan keduanya, makhluk tuhan paling kepo ini nggak tahan lagi buat tanya-tanya ke Dimi, dari kenal di mana sama si brewok, sudah diapain aja, dikeluarin di mana, apalah lagi nggak penting banget pokoknya!
"Dimi hobi apa emangnya?" tanya Rosyid.
"Nulis," jawab Dimi tanpa prasangka.
"Stensilan?"
"Enggak!"
Zenith langsung melotot dengan tatapan 'diem-lu-kampret!'
"Selain dilamar sama si brewok, Dimi pernah dilamar sama penerbit belum?"
Dimi mengangguk polos. "Tapi dimintanya kita yang beli 500 eksemplar dulu baru ditaruh di toko buku besar. Follower sama viewnya kurang banyak kali, kak... penerbit pikir-pikir dulu kali buat investasi ke penulis baru yang belum dikenal."
"Namanya aja kapitalisme, karena emang sih
mass effect itu punya andil besar buat menentukan laku atau enggaknya buku di pasaran," Zen menambahi berapi-api. "Jaman sekarang jadi penerbit mah enak, tinggal comot penulis yang udah banyak followernya. Penulis bikin open PO, bab-nya dihapus-hapusin. Katakanlah dari 70.000 follower garis keras, setengahnya aja beli buku itu namanya udah jadi udah bestseller."
"Tapi kalau emang gitu jalannya, kenapa enggak?" Dimi berkata pelan. "Penulis mana yang nggak mau bukunya ada di rak toko buku?"
"Noh, dengerin tuh!" Rosyid menempeleng si brewok.
Dimi menoleh ke arah pemudanya. "Benernya si oom itu kalau mau nulis novel, tulisannya bisa masuk toko buku loh."
"Oom siapa?" Rosyid mencondongkan badan tanda tertarik −yang disambut tatapan kejam Zen ke arah makhluk tuhan faling kepo itu, 'vangke lu-kribo-ente-diem-aja!'
"M-masa? Tulisannya si oom kan... ya... gitu, deh...," tanggap Zenith gelagapan.
Dimi menangguk tulus.
Orang itu hanya salah jalan, batin Dimi. Kalau si oom nggak nulis cerita porno mungkin tulisannya sudah diterbitin sejak lama.
Bukannya si oom nggak mau berusaha ngirimin naskahnya ke penerbit, tapi semenjak nulis cerita porno dia jadi parno sendiri. Takutnya pas bukunya naik cetak terus ada pahlawan kesiangan yang kepo, terus jadi skandal. Sekarang aja belum ngetop udah dikepoin. Biasa lah orang di negara kita masih banyak orang yang dengki. Punya follower agak banyakan dikit aja udah dijadiin target operasi buat direport-report. Apa jadinya seorang penulis cerita religi kalau dulunya mantan penulis cerita porno?
Tapi kenyataannya cerita baru si oom yang ultrabahlul berjudul "Drama Religi Faling Varokah" memang tengah jadi pusat perhatian karena mengawinkan komedi bodor ala 'Kambing Jantan' dan religi syar'i ala 'Ketika Cinta Bertasbih', bahkan banyak pembaca yang mendoakan supaya si oom dapat hidayah beneran. Termasuk Dimi.
"Tapi Dimi yakin kok, kak... suatu saat novelnya si oom bakalan terbit," Dimi berkata tulus, "soalnya−"
"−Dimi kolab yuk," potong Zenith cepat
"Waini, antum mau kolab bikin anak atau kolab bikin buku?" Rosyid langsung tergelak-gelak.
"Diem lu kribo! Kolab bikin buku lah, tar duit royaltinya baru dipake buat bikin anak, hehe..."
"Hehehe... mau nulis cerita apa emangnya?" Dimi menunduk tersipu.
"Harus BDSM, dong," tandas Zenith, mantap.
"Idih!"
"Maksud ana, Barokah, Dakwah, Syiar, dan Manfaat."
Masya Allah, Rosyid cuma bisa geleng-geleng kepala. Si brewok bahlul akhirnya ketemu jodohnya sodara-sodarah!
●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●
Malam ini sholat Istikharohnya terasa lebih ringan daripada biasa. Tak ada satupun ayat atau hadist yang menyatakan bahwa Allah akan memberi jawaban berupa mimpi. Karena hati hanyalah cermin yang memantulkan apa yang paling diinginkan oleh pemiliknya. Dan Istikharoh adalah ibadah agar apapun hasilnya manusia bisa tetap ikhlas dan senantiasa tawakkal, bahwa yang terjadi adalah yang terbaik yang diberikan Allah SWT.
Menikah, batin Dimi. Sampai 1 bulan sebelumnya kata ini sama sekali tidak pernah terlintas di pikirannya, namun saat ini... Hu-uh, masa Dimi nikah, sih? hihihi, batin si kecil dengan sudut bibir yang semakin tertarik ke atas membayangkan sebuah rumah kecil yang ditinggali bertiga dengan seorang anak lucu yang baru belajar berjalan. Juga sepasang sajadah yang dihampar untuk sholat berdua di ruang tamu. Mungkin sekali-duakali keduanya bakal berselisih paham. Dimi ngambek. Zenith uring-uringan. Tapi sampai keriput barangkali, wajah brewok itu akan selalu menjadi orang yang paling pertama dilihatnya ketika membuka mata.
"Hayo... yang sudah bisa senyum-senyum... Sudah baikan sama Zenith?" bertanya Husna yang mendapati Dimi tersenyum-senyum sendiri sambil meremas-remas....
..... boneka
squishy-nya. (Dimi punya beberapa mainan ini, tapi yang bentuk buah-buahan aja, soalnya takut dimarahi ustadzah-nya kalau menyimpan benda yang menyerupai makhluk bernyawa).
"Eh?
Anti benaran sudah dilamar?"
Dimi mengangguk lucu.
"Alhamdulillaaaaah," Husna duduk mensejajari Dimi di atas dipan lalu memeluk gadis bertubuh mungil itu.
Husna bisa mengerti kenapa pemuda ini membuat gadis manis seperti Dimi dimabuk asmara. 3 tahun bergelut dalam organisasi kemahasiswaan yang sama membuat Husna paham betul pemikiran revolusioner yang tersembunyi di balik rambut gondrong dan wajah brewok. Sayangnya si kampret lebih memilih menjadi pahlawan tanpa tanda-tanda ketimbang mencalonkan diri menjadi ketua BEM.
"Mbak Husna gimana urusannya? Lancar?"
Husna menghela nafas berat. "Alhamdullilah... lancar...."
Lama tak tampak, Husna mengaku menengok bibinya di kabupaten B sekaligus mengambil data penelitian. Sampai di asrama ba'da Isya, wanita keibuan itu membereskan pakaian di kopernya ke dalam lemari, lalu meletakkan laptop dan bukunya di atas meja belajar kecil yang menjadi pembatas dua dipan kecil di kamar berukuran 3 x 4 itu.
"
Ukh Dimi, Selama
ana pergi,
anti ada lihat kiriman paket buat
ana?"
Dimi menggeleng. "Paket apa? Dari Mas Bagas?"
"
Ndak...
ndak apa-apa...." wajah Husna agak bersemu.
"Oia, Mbak Husna... hari Ahad depan
anti ada waktu...?"
"
Afwan ya ukhti, tapi hari Jum'at ana mau ke tempat bibi lagi, lho...."
"Yaaaah...." Dimi menunduk kecewa.
"Tapi hari Ahad pagi, insyaallah ana sudah balik. Memang
anti mau ditemani ke mana?"
"Ta'aruf..."
_____________________________________
| Anti = kata ganti orang kedua, feminin, tunggal |
| Afwan = maaf |
_____________________________________
●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●
Ta'aruf sih, ta'aruf, tapi kenapa ane jadi terlibat! Vangkeh, lah! Si kribo cuma bisa garuk-garuk pohon bonsai yang ditenem di kepalanya karena (lagi-lagi) dirinya disuruh jadi orang ketiga agar setan tidak mengganggu ketika Dimi dan Zen bertemu di kedai donat waralaba di dekat kampus mereka untuk menulis cerita baru. Masalahnya Dimi juga ngajak Husna. Terus si kribo ditinggalin berdua sama Husna macam remaja masjid baru ta'aruf.
"Kentang, mbak...," kata Rosyid sambil menyodorkan sekantung keripik kentang. Asli garing abis, batin si kribo yang mati gaya karena dikacangin sama Dimi dan Zenith yang malah asyik berdua kaya orang pacaran beneran.
"
Jazza... tapi ana puasa...," jawab Husna lembut, lalu kembali sibuk dengan buku 'Di Bawah Mihrab Cinta' di tangannya. Kaca mata
frameless. Jilbab syar'i mirip jubah warna cokelat muda. Wajah teduh keibuan. Bikin jantung si kribo yang penggemar MILF jadi ketar-ketir, meski nggak sopan juga kalau ngatain mukanya Husna boros!
_________________________________
|Jazza = Jazzakallah khoiron katsiraa = versi lebih formal untuk mengucapkan terima kasih dibanding 'syukron' |
_________________________________
"Mbak kosnya Dimi...?" Rosyid cari-cari bahan pembicaraan.
Husna mengangguk tak bersuara.
"Anak fakultas *piiiip* juga...."
Husna mengangguk lagi.
"Ooh... angkatan berapa...?"
"Lagi skripsi."
Dalam tiga kalimat Rosyid sudah kehabisan amunisi.
Vangkeh!! Si kribo mendelik sebal ke arah pasangan baru jadian yang dengan biadabnya malah suap-suapan donat di meja satunya sebelum asyik lagi sama layar laptop yang menampilkan draft novel yang baru jadi kerangka doang.
Zenith lemah dalam plot jangka panjang tapi piawai dalam penyajian. Sebaliknya Dimi tak terlalu pandai membuat kata-kata yang berbunga-bunga, tapi solid dalam plot bahkan gemar membuat twist berbalut twist (mirip Trix di lapak sebelah). Di kutub satunya si oom dikenal tak terlalu pandai membuat dialog, tulisannya 80% berisi narasi dan deskripsi, sementara Dimi tulisannya 90% dialog cerdas yang selalu berhasil bikin si brewok naksir.
"Bikin model 'Negeri 5 Menara' ato '99 Cahaya di Langit Eropa', lah..." kata Zenith ngentengin. "Novel
bestseller itu ciri-cirinya harus ada anak desa yang merantau dan sukses, jadi bisa menginspirasi banyak orang!"
"Terus setingnya kalau bisa di luar negeri biar nanti filmnya dapet stempel '100% unta mesir asli'," celetuk Rosyid yang agak sebel dijadiin obat nyamuk dari tadi.
Tak disangka Husna terkikik-kikik.
"Luar negeri? Emang di mana?" Dimi menaikkan alisnya lucu.
"Korea Utara, lah! Biar antimainstream," si kribo makin ngasal. "Tar biar ana yang jadi Kim Jong Un."
"Mana cocok, lah. Ente kan Arab, Sid," Zen menimpali.
"Yaudah. Kim Jong Unta, kek," sambar si kribo kesel.
Tawa Husna terdengar semakin jelas. Lesung pipi di dagu kiri membuat sang ukhti tampak semakin manis.
"Oia. Bang Rosyid ini biar masih kuliah tapi wiraswasta loh, mbak," ujar Dimi berpromosi. "Kata kak Zenith dia punya toko online!"
"Oh, ya? Jual apa emangnya?" Husna bertanya antusias. "Kalau jual baju, ana boleh nitip barang dagangan
ndak...?"
"Ana... jualan...
Fidget spinner," si bandar bokep nyengir unta terus ngacir beli minuman sebelum ditanya-tanya lagi sama nyokapnya Oedipus.
●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●
"Sepupunya Zenith aneh banget ya?" kata Husna begitu keduanya sampai di asrama.
"11-12, lah sama Zenith, namanya aja masih satu kabilah...," Dimi menyahut jenaka.
Lalu keduanya terkikik-kikik.
"Tapi ana salut, lho... masih muda sudah mau bikin usaha sendiri, ketimbang ngandelin kekayaan orang tua, tapi ujung-ujungnya nggak jelas," kata Husna agak kesel −nggak tahu ke siapa− lalu melepas hijab panjangnya yang menutup hingga bawah perut.
Eh, apaan tu? Dimi mengernyitkan dahi, soalnya sekilas anak itu ia sempat melihat ruam-ruam kemerahan di atas leher mbak kosnya sebelum Husna mengenakan daster panjang terus pamit mandi.
Dimi menelan ludah. Ah, masa sih, Mbak Husna sama Mas Bagas? Nggak mungkin, deh!
Mas Bagas kan ikhwan-ikhwan gitu bentukannya! batin Dimi yang otaknya udah dibikin ngeres sama si oom. Meski kalau beneran juga, itu bukan urusannya Dimi mereka pernah ngapain aja! Dimi masih sibuk sama teori konspirasi mesumnya waktu pintu kamarnya diketuk dari luar.
"Siapa...?" Dimi menyahut parau.
"Assalamualaikum, dik Dimi, ada paket buat
anti dan mbak Husna," terdengar suara mbak kosnya.
Cepat-cepat Dimi membalas salam. Mbak kosnya membawa dua kotak bewarna cokelat. "Syukron", Dimi mengangguk berterimakasih. Akhir-akhir ini si kecil emang lagi hobi ngumpulin squishy yang dipesannya dari toko online di Instagram. Satu kotak berisi squishy berbentuk tinja, tapi satu kotak lagi kayanya punyanya Husna.
Apaan, nih? Dahi Dimi berkerut menimbang-nimbang kotak berukuran 20 x 20 cm itu, soalnya dikirim pakai namanya Mas Bagas. Eh? emang Mbak Husna mainan
squishy juga? Soalnya nama pengirimnya rada aneh gitu. Abu Tobrut.
"Eh?! Jangan dibuka! Itu buat ana!" nggak disangka Husna yang sehari-hari kalem berlari-lari gelagapan begitu melihat paketnya berada di pangkuan Dimi.
"Apaan tuh, mbak?" si kecil mengerjap kepo.
Husna menunduk dengan wajah bersemu.
"Bukan '
fidget spinner', kan?" mata Dimi bergerak menyelidik.
________________________________________
GLOSARIUM
Nahdliyin. Warga masyarakat yang berafiliasi atau sebagai anggota ormas NU (Nahdhatul Ulama)
Sufi. Baca glosarium part 10.
Wahabi.
Baca glosarium part 10.
Bid'ah. Mengada-ngadakan/menambahi tata cara dalam ibadah yang tidak ada dalam Al-Quran atau Al-Hadist. Banyak polemik mengenai hal ini. Silahkan didiskusikan dalam forum yang sesuai.
Sholat Istikharoh. Salah satu bentuk ibadah untuk memohon petunjuk kepada Allah SWT. Ada salah kaprah yang beredar di masyarakat bahwa petunjuk harus datang berupa mimpi. Bahkan ada novel yang menggunakan plot seperti ini. Padahal tak ada satupun ayat atau hadist yang menyatakan demikian.
Setan sebagai orang ketiga. Buat yang nggak tahu kenapa Dimi dan Zenith harus ditemenin sama orang lain waktu berduaan, karena ada haditsnya, kalau cowok-cewek bukan muhrim berduaan, orang ketiganya adalah setan.
Muhrim. Seharusnya tulisannya 'mahrom'. Soalnya muhrim sendiri artinya orang yang berihram. Nggak tahu kenapa orang-orang di Indonesia bilangnya 'muhrim buat orang yang tidak boleh dinikahi. Antara lain: ayah, ibu, kakak, adik, paman, bibi, dll (googling sendiri lengkapnya gan, ane juga lupa, takut jelasin panjang-panjang tapi salah), tapi sepupu itu bukan muhrim.
Bukan Muhrim. Jadi bukan muhrim adalah orang yang 'boleh dinikahi'. Islam melakukan segregasi seksual yang ketat terhadap orang yang bukan muhrim, sampai dihalalkan dalam mahligai perkawinan.
Kenapa Dimi nggak boleh nyimpen boneka? Ada Hukum Islam yang melarang untuk membuat/meniru bentuk makhluk bernyawa, termasuk boneka, patung, lukisan. Seiring perkembangan zaman, ulama-ulama memiliki pendapat berbeda-beda mengenai hal ini. Ada yang membolehkan. Ada yang tetap melarang.
Melempar Jumroh di Mina. Salah satu prosesi dalam ibadah Haji di mana jemaah Haji diminta melempar batu pada sebuah tugu batu yang merupakan personifikasi iblis